Selasa, 13 Desember 2016

Pembagian Teori Komunikasi Massa

Bagi Mahasiswa Mata Kuliah Komunikasi Massa
Jurusan Ilmu Komunikasi - FISIP - Undana
Semester III

Tugas teori-teori dalam komunikasi massa yang telah dibagikan pada pertemuan 29 November 2016, dan akan dipresentasikan pada Jumat, 16 Desember 2016. 
Mohon dikerjakan dan dikumpulkan ke ketua kelas dan diletakkan di ruang Dosen JIKOM. 
berikut teori-teori yang akan dibahas:
1.Stimulus – Respon
2.Teori Jarum Hipodermik
3.Disonansi Kognitif Festinger
4.Komunikasi Dua Tahap dan Pengaruh Antarpribadi
5.Teori Agenda Setting
6.Teori Dependensi Mengenai Efek Komunikasi Massa
7.Difusi Inovasi
8.Information Gaps
9.Teori Inokulasi
10.Teori Motivasi Proteksi
11.Konstruksi social Media massa
12.Teori Used and Effects
13.Information Seeking
14.Analisis Kultivasi
15.Teori Pembelajaran Sosial
16.Teori CMC
17.Teori Kegunaan dan Gratifikasi
18.Teori Spiral Keheningan
19.Teori Ekologi Media
20.Semiotika
21.Cultural Studies of Stuart Hall
22.POLITICAL ECONOMY THEORY
23.HAROLD INNIS: THE BIAS OF COMMUNICATION
24.Feminist Reception Studies
25.Media System Dependency Theory
26.Media Intrusion Theory

27.Theories of Frames and Framing

(Pembagian teori/mahasiswa dilakukan secara mandiri, dibawah koordinasi ketua kelas). 
selamat bekerja!!!

Senin, 17 Oktober 2016

Komunikasi Organisasi Dalam Perspektif Objektif dan Perspektif Subjektif
(Kajian Struktur Birokrasi Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II)
Oleh : Monika Wutun
PENDAHULUAN
Ketika mendengar kata “Organisasi” apa yang anda pikirkan? Dan jika kata organisasi dilekatkan dengan  komunikasi, apa yang terlintas di pikiran anda? Apakah anda berpikir tentang sekretariat (kantor), manusia yang menjadi anggota ataukah yang berada pada tataran konseptual yakni seperangkat aturan yang mengikat para anggota pada satu tujuan bersama.   
Ada begitu banyak dimensi yang dapat menjelaskan tentang organisasi dalam perspektif komunikasi. Organisasi dapat dipandang secara tradisional/klasik/mekanistis (organisasi dianggap seperti mesin). Bisa juga dengan pendekatan human relations, human resources¸ sistem, ataukah budaya yang dilembagakan.
Berbagai perspektif coba dikembangkan oleh ahli komunikasi organisasi untuk menemukan pemahaman yang tepat mengenai organisasi itu. Secara umum organisasi dapat dipahami dari dua sisi/perspektif yaitu objektivis dan subjektivis.1
Tulisan ini akan coba memaparkan apa itu organisasi dari dua perspektif tersebut. Dan yang membuat tulisan ini akan lebih menarik ketika perspektif objektivis dan subjektivis dipakai untuk mengkaji birokrasi pemerintah Indonesia dibawah pimpinan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dengan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II.
MEMAHAMI ORGANISASI DALAM PERSPEKTIF KOMUNIKASI
Sebelum membahas tentang organisasi dalam perspektif komunikasi, ada baiknya dipaparkan terlebih dahulu definisi Komunikasi, Organisasi dan Komunikasi Organisasi. Pemaparan ini dimaksudkan agar kita lebih memahami di mana posisi organisasi dalam komunikasi. Ketika sudah dipahami maka kita dapat memposisikan diri sebagai orang objektif atau subjektif dalam memahami organisasi. 
Effendy (2003) mengatakan komunikasi pada hakikatnya adalah proses penyampaian pesan oleh partisipan komunikasi yang dibahasakan sebagai komunikator kepada komunikan. Proses ini dikategorikan dalam dua perspektif yaitu pertama, proses komunikasi dalam perspektif psikologis; dimana komunikasi terjadi pada diri partisipan komunikasi. Kedua, perspektif mekanistis; proses ini berlangsung ketika pengirim pesan memindahkan pesan dan pesan itu sampai diterima oleh penerima. Dalam perspektif mekanistis komunikasi dapat berlangsung secara primer, sekunder, linear, dan sirkular.
Frank Dance dalam Littlejohn (2009) mengklasifikasi tiga dimensi pemahaman komunikasi yaitu dimensi tingkat pengamatan, dimensi tujuan dan dimensi penilaian. Pada dimensi tingkat pengamatan, Dance melihat keluasan dan kebebasan pendefinisian komunikasi yang dapat berupa proses atau sebagai suatu sistem informasi. Sementara pada dimensi tujuan, definisi-definisi yang terkategori disini adalah definisi yang memasukkan pengirim dan penerima pesan dengan maksud tertentu. Sedangkan dimensi penilaian, disini komunikasi didefinisikan sebagai pernyataan tentang keberhasilan, keefektifan, atau ketepatan.
Suatu organisasi bisa didefinisikan sebagai sebuah kelompok individu yang diorganisasikan untuk mencapai tujuan tertentu. Jumlah individu sangat bervariasi dari satu organisasi ke organisasi lainnya. ada yang beranggotakan tiga atau empat orang bekerja dengan kontrak yang sangat dekat. Yang lainnya memiliki seribu karyawan tersebar di seluruh dunia. Apa yang penting dalam hal ini adalah merekaini bekerja di dalam struktur tertentu.2
DeVito (1997) menyebutkan dalam setiap organisasi terdapat struktur formal dan informal. Tingkat struktur dalam organisasi sangat bervariasi dari satu organisasi ke organisasi lainnya. Dalam struktur yang sangat ketat, peran dan posisi setiap orang berada dalam hirarki yang didefinisikan dengan jelas. Di dalam organisasi dengan struktur yang lebih longgar, peran bisa bergantian dan strukur hirarki bisa kurang jelas dan relatif kurang penting.
Ketika kita memikirkan tentang Organisasi menurut Littlejohn (2009),  sebenarnya kita berpikir tentang tiga aspek yang muncul dari suatu organisasi yaitu (1)Susunan, bentuk dan fungsi organisasional; (2)Manajemen, kendali dan kuasa; (3)Budaya organisasional. Gareth Morgan menyampaikan metafora yang dapat diidentifikasi bisa membantu kita memahami organisasi adalah melalui metafora tentang mesin, organisme, otak, sistem politik, penjara, fisik dan kebudayaan.3
 Kecenderungan teori komunikasi belakangan ini mengakui bahwa organisasi muncul sebagai hasil interaksi antar anggota atau disampaikan secara gamblang oleh Littlejohn bahwa organisasi dihasilkan melalui komunikasi. Dikatakan, komunikasi sebagai sebuah alat bantu oleh anggota organisasi sebenarnya merupakan media yang menjadikan organisasi tersebut ada. Weick benar. Komunikasi adalah sebuah proses beroganisasi, dan karena komunikasi bersifat dinamis, sebuah “organisasi” hanyalah gambaran dari sebuah proses yang selalu berkembang.
Kegiatan berorganisasi memiliki tujuan karena kehidupan berorganisasi dipenuhi oleh tujuan dan tugas. Bekerja dalam sebuah organisasi adalah sebuah pengalaman kegiatan yang lebih baik. Kita berpartisipasi dalam organisasi tepatnya karena organisasi memungkinkan kita mencapai sesuatu yang penting secara pribadi yakni pemasukan. Tetapi tidak semua organisasi bertujuan untuk mendapatkan pemasukan – seperti gejala perkumpulan warga, asosiasi komunikasi lembaga pendidikan, dan organisasi professional – yang memperbolehkan kita mengejar nilai-nilai lain.
Sendjaja (1994) membagi fungsi komunikasi dalam organisasi ke dalam empat kategori yaitu:
 (1) Fungsi informatif. Organisasi dipandang sebagai suatu sistem pemrosesan informasi. Maksudnya, seluruh anggota suatu organisasi berharap dapat memperoleh informasi lebih banyak, lebih baik dan lebih tepat waktu.
2(2) Fungsi regulatif. Fungsi ini berkaitan dengan peraturan-peraturan yang berlaku dalam suatu organisasi. Terdapat dua hal yang berpengaruh terhadap fungsi regulatif, yaitu: Pertama, berkaitan dengan orang yang berada dalam tataran manajemen, yaitu mereka yang memiliki kewenangan untuk mengendalikan semua informasi yang disampaikan. Kedua, berkaitan dengan pesan-pesan regulatif yang berorientasi pada kerja.
  (3) Fungsi Persuasif. Dalam mengatur suatu organisasi, kekuasaan dan kewenangan tidak akan selalu membawa hasil sesuai dengan yang diharapkan. Adanya kenyataan ini, maka banyak pimpinan yang lebih suka untuk mempersuasi bawahannya daripada memberi perintah.
 (4) Fungsi Integratif. Setiap organisasi berusaha untuk menyediakan saluran yang memungkinkan karyawan dapat melaksanakan tugas dan pekerjaan dengan baik. Ada dua saluran komunikasi yang dapat mewujudkan hal tersebut, yaitu: saluran formal dan informal (perbindangan antarpribadi

Griffin (2000) menyampaikan lima pendekatan yang dapat digunakan untuk memahami organisasi dalam perspektif komunikasi yaitu :
1(1) The Mechanistic Approach (Pendekatan Mekanistis). Pendekatan ini memandang organisasi seperti mesin yang bekerja untuk pencapaian tujuan. 
  (2) The Human Relations Approach (Pendekatan Relasi Antarmanusia). Pendekatan ini secara langsung memiliki perbandingan yang kontras dengan pendekatan mekanistis. Pendekatan ini melihat manusia/individu sebagai bagian penting dari organisasi. Pekerja adalah manusia, dan mereka memiliki sisi manusiawi yang berbeda dengan robot. Dengan memperhatikan sisi relasi antarmanusia diharapkan individu lebih mengeluarkan secara penuh potensi dirinya bagi kemajuan organisasi.
  (3) The General System Approach (Pendekatan Sistem yang umum). Kata sistem lebih dimaknai sebagai penggambaran dari pentingnya realitas dalam kehidupan – seperti sistem telepon, sistem pelaporan dan lainnya. Sistem menunjukkan proses transformasi materi atau masukan dari lingkungan untuk menyusun output atau hasil dari organisasi. Dalam pendekatan ini lebih diperhatikan sistem informasi dalam organisasi.
4(4) The Cultural Approach (Pendekatan Budaya). Budaya dilihat sebagai sesuatu yang bukan milik organisasi; tetapi budaya adalah bagian dari organisasi (melekat dalam organisasi).  
5(5) The Political Approach (Pendekatan Politik). Pendekatan ini ditambahkan oleh Griffin untuk menunjukkan bahwa sebenarnya dalam organisasi terhadap perjuangan tersembunyi yang perlu diperlihatkan kepada publik bahwa di setiap organsasi ada persaingan untuk memperoleh kekuasaan. Griffin mencontohkan analisis managerial dari Stanley Deetz yang menganalisis distribusi kekuasaan yang tidak seimbang dalam organisasi dan leibh tertarik pada sistem demokrasi.



MEMBEDAH “KOMUNIKASI ORGANISASI”
DARI PERSPEKTIF OBJEKTIF DAN PERSPEKTIF SUBJEKTIF
Paradigma komunikasi organisasi menurut Pace & Faules (1998) terdiri dari dua perspektif yaitu: Pertama, perspektif objektif yang dikenal juga dengan positivistik/ mekanistik/ scientific/ strukturalistik. Kedua, perspektif subjektif/ humanistik/ interpretif/ transaksional.
Istilah objektif merujuk pada pandangan bahwa objek-objek, perilaku-perilaku, dan peristiwa-peristiwa eksis di suatu dunia nyata. Hal itu eksis terlepas dari pengamat. Sedangkan istilah subjektif menunjukkan bahwa realitas itu sendiri adalah suatu konstruksi sosial. Pengetahuan tidak mempunyai sifat yang objektif dan tidak mempunyai sifat yang tidak dapat berubah. Tetapi istilah objektif dan subjektif tidak dimaknai sebagai pilihan antara mana yang lebih baik. Istilah objektif lebih dimaknai sebagai bebas nilai dalam penemuan kebenaran.
Berikut akan ditampilkan tabel perbadingan pemikiran antara perspektif objektif dan perspektif subjektif dalam organisasi yang diadopsi dari Pace & Faules (1998):
Tabel 1. Perbandingan Pemikiran Antara Perspektif Objetkif
dan Subjektif Dalam Organisasi
Pandangan Objektif
Pandangan Subjektif
n Pandangan ini mengasumsikan bahwa “orang-orang dapat menjauhkan diri mereka dari bias-bias mereka dan bahwa “kebenaran” dapat ditemukan bila kita dapat menyingkirkan campur tangan manusia ketika melakukan penilaian”.
n Manusia adalah produk lingkungan.
n Manusia mengamati lingkungan, menentukan makna, dan menggunakan bahasa yang sesuai untuk mengidentifikasi apa yang diamati.
n Realitas adalah sesuatuyang kongkret terpisah dari manusia sama seperti orang memandang dunia fisik/alam.
n Tindakan seseorang itu haruslah bertujuan, goal oriented, rasional serta ditentukan oleh lingkungan.

n Mengasumsikan bahwa pengetahuan tidak mempunyai sifat yang objektif dan tidak mempunyai sifat yang “tidak dapat berubah”. Pandangan ini menganggap manusia sebagai makhluk dinamis.
n Manusia cenderung merupakan faktor yang memutuskan bagaimana lingkungan eksternal dikonstruksi.

n Manusia yang menentukan dan mencipta / mengkontruksi lingkungan sesuai dengan kreatifitasnya (identifikasi apa yang diamati sesuai dengan pemberian makna oleh pengamat)
n Tidak ada sesuatu yang eksis di luar pikiran manusia, karena manusialah yang menciptakan realitas dengan kreativitasnya.
n Tindakan seseorang itu muncul dari proses sosial dalam interaksi manusia, artinya perilaku yang berkembang yang bergantung pada konstruksi sosial yang terjadi selama proses interaksi.
Implikasi perpektif objektif terhadap kajian komuniksi organisasi:
n Komunikasi dipahami sebagai sebuah proses penyampaian pesan / transmisional yaitu suatu proses linier/ proses sebab akibat/ proses pengiriman pesan dari komunikator pada komunikan.
n Organisasi adalah sesuatu yang bersifat fisik / konkret yang merupakan sebuah struktur. Organisasi terdiri dari tindakan, interaksi dan transaksi yang melibatkan orang-orang.
n Organisasi adalah wadah (container view of organizations) tempat dimana semua unsur yang membentuk organisasi ditempatkan dalam wadah itu.
n Fokus perhatiannya adalah bagaimana komunikasi itu efektif untuk menyelesaikan berbagai permasalahan dalam organisasi

Implikasi perpektif Subjektif terhadap kajian komuniksi organisasi:
n  Komunikasi dipahami sebagai suatu proses penciptaan makna antara dua orang atau lebih.
n  Organisasi dipahami sebagai kegiatan yang dilakukan orang-orang. Organisasi dicipta dan terdiri dari tindakan-tindakan, interaksi dan transaksi antar orang. Organisasi berarti proses. Dimana setiap perilaku mengandung makna bagi yang melakukannya. Bagaimana perilaku tersebut mencipta lingkungan (budaya).
n   Organisasi akan tetap bertahan jika mampu mencipta lingkungan (budaya) dalam realitas.
n  Fokus perhatiannya adalah pada makna setiap perilaku/komunikasi yang berlangsung dalam organisasi diantara para anggotanya.
Sumber: Pace & Faules (1998)
Suatu organisasi dapat didekati sebagai suatu objek studi. Sebagian orang menganggap organisasi sebagai suatu subjek yang menyenangkan dan menarik. Tujuan utama mereka adalah untuk memahami organisasi dan menemukan bagaimana kehidupan terwujud lewat komunikasi. Tekanannya adalah pada bagaimana suatu organisasi dikonstruksi dan dipelihara lewat proses komunikasi.
Organisasi juga dikaji karena organisasi dianggap menindas. Seorang humanis radikal mungkin tertarik pada bagaimana manusia menciptakan penjara mereka sendiri dalam organisasi. Sebaliknya, seorang strukturalis radikal, mungkin sangat tertarik pada organisasi sebagai kekuatan yang mendominasi (Morgan dalam Pace & Faules, 1998:25). Kedua pandangan ini menghasilkan para pengkritik yang tertarik pada bagaimana komunikasi organisasi digunakan untuk mengendalikan individu yang tampaknya tidak menyadari dominasi organisasi.
Tujuan pengkritik tersebut adalah untuk membebaskan individu dari penindasan dengan memberikan analisis dan kritik mengenai apa yang mereka lihat sebagai suatu tatanan sosial yang menindas. Maka mereka dapat menyediakan cara-cara alternatif untuk mengubah organisasi yang ada. Komunikasi organisasi lebih dari sekedar apa yang dilakukan orang-orang. komunikasi organisasi adalah suatu disiplin studi yang dapat mengambil sejumlah arah yang sah dan bermanfaat.
Dari perbandingan kedua perspektif tersebut, komunikasi organisasi dapat didefinisikan  dalam dua pendekatan yaitu definisi tradisional/objektif dan definisi interpretif/subjektif. Secara tradisional komunikasi organisasi cenderung menekankan kegiatan penangan pesan yang terkandung dalam suatu batas organisasional (organizational boundary).
Sementara dari perspektif interpretif/subjektif, komunikasi organisasi adalah proses penciptaan makna atas interaksi yang merupakan organisasi. Proses interaksi tersebut tidak mencerminkan organisasi; ia adalah organisasi. Komunikasi organisasi adalah “perilaku pengorganisasian” yang terjadi dan bagaimana mereka yang terlibat dalam proses itu bertransasksi dan memberi makna atas apa yang sedang terjadi. Jadi komunikasi organisasi adalah proses penciptaan makna atas interaksi yang menciptakan, memelihara dan mengubah organisasi.
Jadi dapat disimpulkan bahwa pendekatan objektif melihat organisasi sebagai struktur, sedangkan pendekatan subjektif memandang organisasi sebagai proses (mengorganisasikan perilaku). Komunikasi lebih dari sekedar alat, ia adalah cara berpikir.
Sifat terpenting komunikasi organisasi adalah penciptaan pesan, penafsiran, dan penanganan kegiatan anggota organisasi. Bagaimana komunikasi berlangsung dalam organisasi dan apa maknanya tergantung pada konsepsi seseorang mengenai organisasi.
Komunikasi mendukung struktur organisasi dan adaptasinya dengan lingkungan. Bila organisasi merupakan suatu pemrosesan informasi besar, maka maksud proses komunikasi adalah untuk memperoleh informasi yang tepat bagi orang yang tepat pada saat yang tepat. Berdasarkan perspektif ini, komunikasi organisasi dapat dilihat sebagai “proses mengumpulkan, memproses, menyimpan, dan menyebarkan komunikasi yang memungkinkan organisasi berfungsi (Farace, Monge, & Russel dalam Pace & Faules, 1998:34).
Pertanyaan yang menarik dari Pace & Faules tentang apakah komunikasi organisasi dapat eksis tanpa orang-orang? Hal ini mendorong saya untuk berpikir apakah benar jika kita sudah beralih dari pemikiran objektif yang membatasi organisasi dalam suatu sistem yang ketat dengan pemikiran tradisional maka perjumpaan fisik antara anggota menjadi hal mutlak perlu. Tetapi ketika pemikiran ini sudah bergerak ke arah pendekatan yang lebih modern, maka kehadiran secara fisik dari anggota organisasi mesti didiskusikan lagi.
Bila pesan diberlakukan sebagai substansi fisik (suatu pandangan objektif yang ekstrem), komunikasi dapat eksis tanpa orang-orang. kaum objektivis memfokuskan perhatian pada perolehan informasi melalui sistem tersebut. Sementara peranan orang-orang adalah unggul dalam pandangan subjektivis mengenai komunikasi organisasi. Pesan diciptakan, ditafsirkan, dan dicipta ulang dalam suatu proses berkelanjutan. Komunikasi organisasi tidak eksis hingga ia diciptakan dan ditafsirkan oleh orang-orang.
Pada bagian ini akan dipaparkan secara ringkas perkembangan teori komunikasi organisasi yang bergerak dari perspektif objektivis menuju subjektivis. Mary Jo Hatch dalam Saleh membagi empat perkembangan perspektif teori organisasi yang didasarkan pada kedua perspektif tersebut yaitu klasik, Modern, interpretasi simbolik, dan post modernism4.
1)   Klasik
Asumsi : organisasi dipahami sebagai tempat (wadah) berkumpulnya orang-orang yang diikat dalam sebuah aturan-aturan yang tegas  dan melaksanakan kegiatan-kegiatan yang telah terkoordinir secara sistematis dalam sebuah struktur guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

2)   Modern
Asumsi : Organisasi sebagai sebuah jaringan sistem yang terdiri dari setidak-tidaknya 2 orang atau lebih dengan kesalingtergantungan, input, proses dan output. Menurut pandangan ini, orang-orang (komunikator) bekerjasama dalam sebuah sistem untuk menghasilkan suatu produk dengan menggunakan energi, informasi dan bahan-bahan dari lingkungan
3)   Interpretasi Simbolik
Asumsi : Organisasi memproduksi situasi / lingkungan/ budaya/ realitas sosial melalui pemaknaan atas interaksi dalam organisasi. Organisasi terbentuk karena adanya interaksi (komunikasi) yang terjadi antar anggota melalui pemaknaan atas simbol-simbol, baik simbol verbal maupun non verbal.
4)   Postmodernisme
Asumsi : postmodernisme mencoba untuk mengkritisi (melakukan penentangan terhadap) perspektif modernisme yang menempatkan organisasi dalam bentuk sistem yang rasional empiris. Sistem dalam pengertian modernisme adalah hubungan rasional dari berbagai unsur yang ada dalam organisasi yang cenderung mengesampingkan intuisi dan pengalaman individu. Postmodernisme juga menganggap bahwa organisasi sebagai tempat terjadinya negosiasi kekuasaan, dominasi kelompok dan pertarungan kepentingan sehingga perlu adanya rekonstruksi kekuasaan. Untuk itu postmodernisme mencoba memberikan ruang pada munculnya partisipasi anggota organisasi.
Dalam organisasi baik yang berada pada perspektif objektif maupun subjektif selalu terkait dengan alur informasi dalam organisasi. Komunikasi yang terjadi dalam organisasi menurut Bertinghaus (Liliweri, 1997) menyebutkan paling tidak ada tiga bentuk komunikasi formal yaitu berdasarkan: (1) arah dituju: vertikal, horisontal/lateral. (2) sifat: tipe jaringan komunikasi yang disesuaikan dengan tugas, dan (3) keformalan (sisi formal, sejauhmana lur komunikasi dibatasi oleh kewenangan. Jika dilihat dari arah yang dituju, pesan dalam komunikasi formal biasanya dari atas ke bawah atau dari bawah ke atas secara vertikal dan dari tingkat yang sama atau secara horizontal dan komunikasi lintas saluran.
Pace & Faules memaparkan jenis alur informasi dalam komunikasi organisasi yang terdiri dari: Komunikasi ke bawah dalam organisasi berarti bahwa informasi mengalir dari jabatan berotoritas lebih tinggi kepada mereka yang berotoritas lebih rendah. Biasanya kita beranggapan bahwa informasi bergerak dari manajemen kepada para pegawai. Ada dua persoalan terkait hla ini adalah jenis informasi apa yang disebarkan dari tingkat manajemen kepada para pegawai dan bagaimana informasi tersebut disediakan.
Katz & Kahn dalam Pace & Faules (1998) membagi lima jenis informasi yang biasa dikomunikasikan dari atasan kepada bawahan: (1) Informasi mengenai bagaimana melakukan pekerjaan, (2) informasi mengenai dasar pemikiran untuk melakukan pekerjaan, (3) informasi mengenai kebijakan dan praktik-praktik organisasi, (4) informasi mengenai kinerja pegawai, dn (5) informasi untuk mengembangkan rasa memiliki tugas.
Komunikasi ke atas dalam sebuah organisasi berarti bahwa informasi mengalir dari tingkat yang lebih rendah (bawahan) ke tingkat yang lebih tinggi (penyelia). Semua pegawai dalam sebuah organisasi, kecuali mereka yang menduduki posisi puncak, mungkin berkomunikasi ke atas. Hal-hal yang dikomunikasikan ke atas biasanya memberitahukan apa yang dilakukan bawahan, menjelaskan persoalan-persoalan kerja, memberikan saran atau gagasan untuk perbaikan dalam unit-unit kerja atau mengungkapkan bagaimana pikiran dna perasaan bawahan tentang pekerjaan mereka, rekan kerja mereka dan organisasi.
Komunikasi Horisontal terdiri dari penyampaikan informasi di antara rekan-rekan sejawat dalam unit kerja yang sama. Unit kerja meliputi individu-individu yang ditempatkan pada tingkat otoritas yang sama dalam organisasi dan mempunyai atasan yang sama. Komunikasi horizontal sedikitnya memiliki lima alasan untuk diungkapan yakni untuk mengkoordinasi penugasan kerja, berbagi informasi mengenai rencana dan kegiatan, untuk memecahkan masalah, untuk memperoleh pemahaman bersama, untuk mendamaikan, berunding dan menengahi perbedaan, dan untuk menumbuhkan dukungan antarpersona.
Komunikasi lintas saluran, dalam kebanyakan organisasi muncul keinginan pegawai untuk berbagi informasi melewati batas-batas fungsional dan individu yang tidak menduduki posisi atasan maupun bawahan mereka. Dalam organisasi biasanya staf khusus paling aktif dalam komunikasi lintas saluran karena biasanya tanggung jawab muncul di beberapa rantai otoritas perintah dan jaringan yang berhubungan dengan jabatan.
Komunikasi informal, pribadi atau selentingan, terjadi bila pegawai berkomunikasi satu sama lainnya tanpa mengindahkan posisinya dalam organisasi, faktor yang mengarahkan aliran informasi lebih bersifat pribadi dan jaringannya digolongkan sebagai selentingan.
KABINET INDONESIA BERSATU JILID II
Kabinet Indonesia bersatu jilid II bentukkan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono bersama Wakil Presiden Boediono jika dikaitkan dengan teori organisasi maka akan lekat dengan teori birokrasi dari Max Weber. Pemikiran ini didasarkan pada teori weber yang menempatkan organisasi dengan sifat formal seperti kabinet pemerintah.
Teori Weber (dalam Pace & Faules, 1998) menyebutkan bahwa suatu organisasi birokrasi yang ideal harus memiliki sepuluh ciri yakni: (1) Terdiri dari hubungan-hubungan yang ditetapkan antara jabatan-jabatan. (2) Tujuan atau rencana organisasi terbagi dalam tugas-tugas, tugas organisasi disalurkan di antara berbagai jabatan sebagai kewajiban resmi. (3) Kewenangan untuk melaksanakan kewajiban dibeirkan kepada jabatan. (4) Garis-garis kewenangan dan jabatan diatur menurut suatu tatanan hierarkis. (5) Suatu sistem aturan dan regulasi yang umum tetapi tegas.
(6) Prosedur dalam organisasi bersifat formal dan impersonal. (7) Suatu sikap dan prosedur menerapkan suatu sistem disiplin. (8) Anggota organisasi harus memisahkan kehidupan pribadi dan kehidupan organisasi. (9) Pegawai dipilih untuk bekerja dalam organisasi berdasarkan kualifikasi teknis. (10) Meskipun pekerjaan dalam birokrasi berdasarkan kecakapan teknis, kenaikan jabatan dilakukan berdasarkan senioritas dan prestasi kerja.
Teori birokrasi ideal yang dipaparkan Weber itu akan saya kaitkan dengan perspektif organisasi dari pandangan objektif dan subjektif tentang Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II. Kabinet Indonesia bersatu jilid II ini terdiri dari: 34 Jabatan Menteri yang didampingi 19 wakil menteri, dan 3 pejabat negara setingkat menteri.
Jika dilihat dari jumlah, ternyata Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II ini dinilai oleh sebagian pihak sebagai kaya struktur yang fungsinya masih diperdebatkan. Apakah dengan memiliki banyak pejabat negara dalam birokrasi maka akan membuat birokrasi itu menjadi lebih efektif? Ataukah malah sebaliknya? Pertanyaan ini hanya bisa dijawab jika dilakukan kajian mendalam tentang efektivitas birokrasi dengan format besar (terdiri dari banyak bagian).
Jika dilihat dari pandangan objektif maka Kabinet Indonesia bersatu jilid II hanya akan dilihat sebagai struktur dengan fungsi yang ketat. Jadi kabinet ini terdiri dari 34 Menteri yang masing-masingnya membidangi departemen yang terkait dengan pelayanan kepada masyarakat. Kabinet akan dilihat sebagai bagaimana para Menteri bekerja dalam menjalankan program pembangunan dengan standarisasi yang jelas dan bahkan ditetapkan dengan peraturan formal yakni perundang-undangan (GBHN / Undang-Undang Tentang APBN). Dalam pandangan objektif kabinet Indonesia akan dikatakan sukses jika bisa menyelesaikan persoalan yang dihadapi masyarakat Indonesia.
Sedangkan dalam pandangan subjektif, kabinet Indonesia bersatu jilid II dipahami sebagai suatu proses dimana departemen dalam lingkup kementerian melaksanakan fungsinya. Setiap bagian bekerja dalam komunikasi yang terbuka mencapai kesejahteraan rakyat. Kabinet ini akan dikatakan efektif jika mereka bisa membangun komunikasi sehingga menciptakan budaya baru yakni kerja sama yang kontinyu dan holistik diantara kementria dibawah pimpinan SBY-Boediono.   
KESIMPULAN
Komunikasi organisasi menurut R.Wayne Pace dan Don F. Faules dapat dikaji dari dua perspektif utama yakni perspektif objektivis dan perspektif subjektivis. Perspektif objektivis melihat organisasi sebagai suatu struktur yang lebih ditekankan nilai manusia sebagai mesin. Sedangkan pada perspektif subjektivis, organisasi dimaknai sebagai proses dan manusia lebih dihargai dengan pendekatan human relation.
Teori komunikasi organisasi bergerak dalam empat perspektif utama yakni klasik yang melihat organisasi sebagai wadah orang berkumpul dalam ikatan aturan yang ketat. Modern, Organisasi sebagai sebuah jaringan sistem yang terdiri dari setidak-tidaknya 2 orang atau lebih dengan kesalingtergantungan, input, proses dan output. Interpretasi simbolik, organisasi memproduksi situasi, lingkunga, budaya, realitas sosial atas interaksi dalam organisasi. Postmodernisme, mencoba mengkritisi perspektif modernisme yang menempatkan organisasi dalam bentuk sistem yang rasional empiris menuju hubungan relasional antara berbagai unsur dalam organisasi.
Alur informasi dalam organisasi pada umumnya terdiri dari komunikasi ke bawah, komunikasi ke atas, komunikasi horizontal, komunikasi lintas saluran dan saluran informal, antarpribadi atau pun selentingan.
Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II dapat dianalisis dari perspektif objektif (terkait dengan analisis struktur) dan juga dapat dianalisis dari perspektif subjektif terkait proses komunikasi diantara struktur pada kabinet pimpinan Presiden SBY dan Wapres Boediyono. hasil analisis ini juga dapat dijadikan rujukkan bagi penyusunan Kabinet Pembangunan pada masa pemerintahan lainnya.
CATATAN:
1.    Pace & Faules (1998) dalam bukunya Komunikasi Organisasi Strategi Meningkatkan Kinerja Perusahaan pada Bagian Satu: Mengenal Komunikasi Organisasi menyampaikan dua perspektif ini sebagai cara pandang dalam memahami komunikasi organisasi. Kedua perspektif ini terdiri dari perspektif objektif dan perspektif subjektif.
2.    Definisi ini disampaikan oleh Joseph DeVito (1997) dalam bukunya  Komunikasi Antarmanusia Kuliah Dasar Edisi Kelima, hal 337. 
3.    Gareth Morgan dalam Littlejohn (2009) hal 361 menyampaikan cara lain yang berguna ketika kita memikirkan tentang organisasi adalah melalui penggunaan metafora-metafora yang identik dengan organisasi. Lihat juga Gareth Morgan, (images of organization (Beverly Hills, CA: Sage, 1986).
4.    Muwafik Saleh dalam tulisan komunikasi organisasi yang diposting di: http:www.sambasalim.com/pendidikan/komunikasi-organisasi.html.



DAFTAR PUSTAKA
DeVito, Joseph A. 1997. Komunikasi Antarmanusia. Jakarta: Professional Books.
Griffin, Em. 2003. Communication: At First Look At Communication Theory. Boston: The MacGraw-Hill Higher Education
Pace, R.Wayne & Don F. Faules. 1998. Komunikasi Organisasi Strategi Meningkatkan Kinerja Perusahaani. Bandung: Remeja Rosdakarya.
Sendjadja, S.Djuarsa Dkk. 1994. Modul Teori Komunikasi. Universitas Terbuka.
West, Richard & Lynn H. Turner. 2009. Pengantar Teori Komunikasi Analisis dan Aplikasi. Jakarta: Salemba Humanika.

http:www.sambasalim.com/pendidikan/komunikasi-organisasi.html tulisan dari Muwafik Saleh dengan judul KOMUNIKASI ORGANISASI. diakses pada 31 Maret 2012, 17.44 WIB.

Sabtu, 15 Oktober 2016


PERSPEKTIF BUDAYA DALAM KOMUNIKASI POLITIK
(Kajian Perkembangan Demokrasi Di Indonesia)
Oleh : Monika Wutun
Pengantar
Budaya politik merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat dengan ciri-ciri yang lebih khas karena menyangkut masalah legitimasi, kekuasaan, pembentukan kebijakan pemerintah, bisa juga kegiatan partai politik, termasuk di dalamnya perilaku aparat negara, serta bagaimana perkembangan masyarakat dalam menilai pemerintahan.
Budaya politik juga dapat dipahami sebagai sistem nilai dan keyakinan yang dimiliki bersama oleh masyarakat. Sehingga ketika nilai dan keyakinan tertentu dilekatkan pada suatu masyarakat akan berbeda dalam aplikasinya, seperti contoh budaya politik barat tidak dapat diterapkan dengan seutuhnya di Indonesia. Karena itu dibutuhkan komunikasi politik yang baik untuk menyepakati aliran budaya politik yang berlaku di Indonesia pada masa tertentu tergantung sistem pemerintahannya.
Budaya politik dapat dibedakan atas tiga tipe yaitu berdasarkan sikap yang ditunjukkan, sikap terhadap tradisi dan perusahan, serta berdasarkan orientasi politik.[1] Berikut uraian dari tiga tipe tersebut:
1)     Berdasarkan Sikap Yang Ditunjukkan, terdiri dari:
a)      Budaya politik Militan:
Budaya politik dimana perbedaan tidak dipandang sebagai usaha mencari alternatif terbaik, tetapi dipandang sebagai usaha menantang yang jahat. Bila terjadi krisis, maka yang dicari adalah kambing hitamnya dan bukannya menjadi penyebab apakah karena aturan yang salah, tetapi lebih ke masalah mempribadi yang terkesan emosional.
b)      Budaya Politik Toleransi:
Budaya politik dimana pemikiran berpusat pada masalah atau ide yang harus dinilai, berusaha mencari konsensus yang wajar yang mana selalu membuka pintu untuk bekerja sama. Sikap netral atau kritis terhadap ide orang, tetapi bukan curiga terhadap orang.
2)    Berdasarkan Sikap Terhadap Tradisi Dan Perubahan, terdiri dari:
a)       Budaya politik yang memiliki sikap mental absolut
Budaya politik yang mempunyai sikap mental yang absolut memiliki nilai-nilai dan kepercayaan yang dianggap selalu sempurna dan tak dapat diubah lagi. Budaya tipe ini tumbuh dari tradisi, dan jarang bersifat kritis terhadap tradisi malahan berusaha memelihara kemurnian tradisi. Unsur baru dianggap sebagai pengganggu dan mereka cenderung menolaknya.
b)       Budaya politik yang memiliki sikap mental akomodatif
Struktur mental yang bersifat akomodatif biasanya terbuka dan sedia menerima apa saja yang dianggap berharga. Ia dapat melepaskan ikatan tradisi, kritis terhadap diri sendiri, dan bersedia menilai kembali tradisi berdasarkan perkembangan masa kini.
3)    Berdasarkan Orientasi Politik, terdiri dari:
Gabriel Almond mengklasifikasikan budaya politik dari realitas yang berkembang dalam masyarakat sebagai berikut:
a)      Budaya politik parokial (parochial political culture), yaitu tingkat partisipasi politiknya sangat rendah, yang disebabkan faktor kognitif (misalnya tingkat pendidikan relatif rendah).
b)      Budaya politik kaula (subyek political culture), yaitu masyarakat bersangkutan sudah relatif maju (baik sosial maupun ekonominya) tetapi masih bersifat pasif.
c)      Budaya politik partisipan (participant political culture), yaitu budaya politik yang ditandai dengan kesadaran politik sangat tinggi.

Budaya Politik Indonesia
Budaya Politik: Makna dan Perwujudannya
Konsep budaya politik baru muncul dan mewarnai wacana ilmu politik pada akhir Perang Dunia II, sebagai dampak perkembangan politik Amerika Serikat. Di Amerika serikat masa itu terjadi revolusi dalam ilmu politik yang dikenal sebagai Behavioral Revolution atau ada juga menamakan dengan Behavioralism. Hal ini terjadi sebagai dampak dari semakin menguatnya tradisi atau mazhab positivisme, sehingga muncul mazhab chicago yang memulai pendekatan baru dalam ilmu politik.
Teori tentang budaya politik merupakan salah satu bentuk teori yang dikembangkan dalam memahami sistem politik. Gabiel Almond dan Sidney Verba, merupakan dua orang ilmuwan politik yang mengembangkan teori tentang kebudayaan politik dengan melakukan kajian di lima negara yang ditampilkan dalam buku The Civic Culture. Civic Culture ini menurut Almond dan Verba, merupakan basis bagi budaya politik dalam membentuk demokrasi.
Budaya politik, menurut Almond dan Verbal dalam Gaffar (2006), merupakan sikap individu terhadap sistem politik dan komponen-komponennya, juga sikap individu terhadap peranan yang dapat dimainkan dalam sebuah sistem politik. Budaya politik tidak lain daripada orientasi psikologis terhadap objek sosial, dalam hal ini sistem politik kemudian membentuk proses internalisasi ke dalam bentuk orientasi yang bersifat kognitif, afektif dan evaluatif.
Orientasi yang bersifat kognitif menyangkut pemahaman dan keyakinan individu terhadap sistem politik dan atributnya, seperti ibu kota negara, lambang negara, kepala negara dan lain sebagainya. Sementara orientasi yang bersifat afektif menyangkut ikatan emosional yang dimiliki individu terhadap sistem politik. Sedangkan orientasi yang bersifat evaluatif menyangkut kapasitas individu dalam rangka memberikan penilaian terhadap sistem politik yang sedang berjalan dan bagaimana peranan individu di dalamnya.  
Almond dan Verba juga menyampaikan bahwa budaya politik yang demokratik, dalam hal ini budaya politik yang partisipatif, akan mendukung terbentuknya sebuah sistem politik yang demokratik dan stabil. Budaya politik yang demokratik ini menyangkut “suatu kumpulan sistem keyakinan, sikap, norma, persepsi dan sejenisnya, yang menopang terwujudnya partisipasi.”
Budaya Politik Indonesia
1)      Hierarki Yang Tegar
Sebenarnya sangat sulit untuk melakukan identifikasi budaya politik Indonesia, karena atributnya tidak jelas. Akan tetapi, suatu hal yang barangkali dapat dijadikan titik tolak untuk membicarakan masalah ini adalah adanya sebuah pola budaya yang dominan, yang berasal dari kelompok etnis yang dominan pula, yaitu kelompok etnis jawa. Etnis ini sangat mempengaruhi sikap, perilaku dan orientasi politik kalangan elit di Indonesia.
Claire Holt, Benedict Anderosn, dan James Siegel penulis Political Culture Indonesia  dalam Gaffar (2006), dengan pembicaraan awal yang dikemukakan adalah menyangkut konsep kekuasaan dalam masyarakat Jawa. Menurut mereka konsep kekuasaan dalam masyarakat Jawa berbeda sekali dengan apa yang dipahami oleh masyarakat barat. Bagi masyarakat Jawa, kekuasaan itu bersifat konkret, besarannya konstan, sumbernya homogen, dan tidak berkaitan dengan persoalan legitimasi. Hal ini berbeda dengan masyarakt barat, dimana kekuasaannya bersifat abstrak dan berasal dari berbagai macam sumber seperti uang, harta kekayaan, fisik, kedudukan, asal usul, dan lain sebagainya.
Masyarakat Jawa dan sebagian besar masyarakat Indonesia lain, pada dasarnya bersifat hierarkis. Stratifikasi sosial bukan didasarkan pada atribusi sosial yang bersifat materialistik, tetapi lebih pada akses kekuasaan. Ada pemilahan yang tegas antara mereka yang memiliki kekuasaan yang disebut kaum priyayi, dan rakyat kebanyakan. Hal ini diperlihatkan lewat bahasa, gesture atau pola perilaku dengan tingkatan dalam budaya bahasa jawa seperti kromo inggil, kromo madya dan sampai pada ngoko. (Gaffar, 2006).
Ketika konsep ini dilekatkan pada birokrat Indonesia sekarang, maka yang terlihat mereka mempergunakannya sebagai bentuk citra diri (self image) yang menyebutkan mereka sebagai pamong praja yang melindungi rakyat. Sehingga konsep pembangunan yang ditampilkan adalah dari, oleh dan untuk rakyat, tetapi sebenarnya hanya dijalankan oleh pemerintah atau merupakan keputusan para elit mengatasnamai rakyat kebanyakan.

2)      Kecenderungan Patronage
Salah satu budaya politik yang menonjol di Indonesia adalah kecenderungan pembentukan pola hubungan patronage, bagi di kalangan penguasa maupun masyarakat, yang didasarkan atas patronage atau oleh James Scott sebagai pola hubungan patron-client (Gaffar, 2006).
Pola hubungan dalam konteks ini bersifat individual. Antara dua individu, yaitu si Patron dan si Client, terjadi interaksi yang bersifat resiprokal atau timbal balik dengan mempertukarkan sumber daya yang dimiliki oleh masing-masing pihak.
Si Patron memiliki sumber daya yang berupa kekuasaan, kedudukan/jabatan, perlindungan, perhatian dan rasa sayang, dan tidak jarang pula sumber daya berupa materi. Sementara, Client memiliki sumber daya berupa tenaga, dukungan dan loyalitas. Pola hubungan tersebut akan tetap dipelihara selama masing-masing pihak tetap memiliki sumber daya tersebut. Namun yang paling sering menikmati hasil dari hubungan ini adalah Si Patron. Diantara Patron dan Client, ada pihak ketiga yang mengetarai yang disebut sebagai brooker atau middleman.
Di Indonesia kecenderungan ini dapat ditemukan secara luas baik dalam lingkungan birokrasi maupun dalam kalangan masyarakat. Presiden bisa menjadi Patron bagi beberapa orang Menteri. Menteri tersebut kemudian memfungsikan diri sebagai middleman terhadap sejumlah Menteri yang lain. Menteri yang lain ini kemduain menjadi Client yang sesunggunya. Kemudian mereka bisa menjadi middleman lagi bagi para Direktur Jenderal, Sekeretaris Jenderal, atau Inspektorat Jenderal dan demikian seterusnya sampai ke tingkat birokrasi paling rendah.

3)      Kecenderungan Neo-Patrimonialistik
Salah satu kecenderungan yang dapat kita amati dalam perpolitikan Indonesia adalah sebuah kecenderungan akan munculnya budaya politik yang bersifat neo-patrimonialistik. Konsep Patriomonialistik yang dikembangkan oleh Max Weber, menurut Gaffar (2006), cukup relevan kalau dikaitkan dengan Pemerintahan Orde Baru. Weber mengatakan bahwa sebuah negara disebut sebagai negara yang patrimonialistik, manakala penyelenggaraan pemerintahan dan kekuatan militer berada di bawah kontrol langsung Pimpinan Negara, yang mempersepsikan segala sesuatunya secara pribadi dalam sistem ekonomi yang kapitalistik.
Dinyatakan pula oleh Weber, bahwa negara Patriomonialistik memiliki sejumlah karakteristik yang menyolok. Pertama, kecenderungan untuk mempertukarkan sumber daya yang dimiliki seorang penguasa kepada teman-temannya. Kedua, kebijaksanaan seringkali lebih bersifat partikularistik daripada univesalistik. Ketiga, rule of law merupakan sesuatu yang sifatnya sekunder bila dibandingkan dengan kekuasaan dari seorang penguasa (rule of man). Keempat, kalangan penguasa politik seringkali mengaburkan antara mana yang kepentingan umum dan mana yang menyangkut kepentingan pribadi/golongan.  
Perkembangan Demokrasi di Indonesia
Perkembangan demokrasi di Indonesia mengalami pasang surut sejak negara ini diproklamasikan. Masalah pokok yang lebih banyak kita hadapai adalah bagaimana dalam masyarakat yang beraneka ragam pola budayanya,  kita mempertinggi tingkat ekonomi daripada membina suatu kehidupan sosial politik yang demokratis. Dan masalah pokok kita sebenarnya berkisar pada penyusunan suatu sistem politik dengan kepemimpinan yang kuat dalam melaksanakan pembangunan nasional, dengan partisipasi rakyat (Budiardjo, 2008).
Budiardjo (2008) membagi perkembangan demokrasi berdasarkan sejarah Indonesia dapat dibagi dalam empat masa, yaitu:
1)      Masa Republik Indonesia I (1945-1959):
(Masa Demokrasi Konstitusional)
Sistem parlementer yang mulai berlaku sebulan sesuah kemerdekaan diproklamirkan dan kemudian diperkuat dalam Undang-Undang Dasar 1949 dan 1950, ternyata kurang cocok untuk Indonesia meskipun dapat berjalan memuaskan pada beberapa negara di Asia. Persatuan yang dapat digalang untuk selalu menghadapi musuh bersama menjadi kendor dn tidak dapat dibina menjadi kekuatan konstruktif sesuah kemerdekaan dicapai. Karena lemahnya benih-benih demokrasi maka sistem parlementer memberi peluang untuk dominasi partai-partai politik dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Undang-Undang Dasar 1950 menetapkan berlakunya sistem parlementer dimana badan eksekutif yang terdiri atas Presiden sebagai kepala negara konstitusional dan menteri-menterinya mempunyai tanggung jawab politik. Karena fragmentasi partai-partai politik, setiap kabinet yang berdasarkan koalisis yang berkisar pada satu atau dua partai besar dan beberapa partai kecil. Koalisi ternyata tidak mantap dan sering berakhir pada perpecahan. Selain itu partai politik yang berperan sebagai oposisi pun tidak mampu berperan sebagai oposan yang konstruktif yang dapat menyusun program alternatif, tetapi hanya menonjolkan sisi negatif dari partai penguasa.
Umumnya Kabinet dalam masa pra pemililihan umum (pemilu) yang diadakan tahun 1955 tidak dapat bertahan lama dari rata-rata delapan bulan. Dan hal ini menghambat perkembangan ekonomi dan politik karena Pemerintah tidak diberi kesempatan untuk melaksanakan programnya. Pemilu 1955 pun ternyata tidak dapat menghindarkan perpecahan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Hal ini membuat Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 untuk menentukan kembali berlakunya Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian sistem parlementer pun berakhir.

2)     Masa Republik Indonesia II (1959-1965):
Masa Demokrasi Terpimpin
Ciri-ciri periode ini adalah dominasi dari Presiden, terbatasnya peranan partai politik, berkembangnya paham komunis, dan meluasnyaperanan ABRI sebagai unsur sosial-politik.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dapat dipandang sebagai suatu usaha untuk mencari jalan keluar dari kemacetan politik melalui pembentukan kepemimpinan yang kuat. UUD 1945 membuka kesempatan bagi seorang Presiden untuk bertahan sekurang-kurangnya leima thaun. Akan tetapi ketetapan MPRS No.III/1963 yang mengangkat Ir.Soekarno sebagai Presiden seumur hidup telah membatalkan pembatasan waktu lima tahun ini. Masih banyak lagi penyimpangan atau penyelewengan terhadap ketentuan-ketentuan di dalam UUD 1945, seperti di tahun 1960 Soekarno sebagai Presiden membubarkan DPR hasil Pemilu padahal dalam penjelasan UUD Presiden tidak dapat membubarkan DPR. Kemudian dibentuk DPR Gotong Royong yang berfungsi membantu pemerintah tanpa ada fungsi kontrol. Bahkan pimpinan DPR dijadikan sebagai Menteri sehingga dapat ditekan untuk membantu Presiden.
Pada masa ini doktrin trias politica telah ditinggalkan dengan sejumlah penyelewengan lain sampai pada campur tangan Presiden pada kewenagan Yudikatif (Penegakan hukum). Indonesia masa itu lebih mengedepankan politik mercu suar dengan menampilkan terbaik ke luar negeri sementara ekonomi dalam negeri bertambah suram. G 30 S/PKI telah mengakhi periode ini dan membuka peluang dimulainya masa demokrasi baru.

3)     Masa Republik Indonesia III (1965-1998):
Masa Demokrasi Pancasila
Landasan formal dari periode ini adalah Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, serta Ketetapan-ketetapan MPRS. Dalam usaha untuk meluruskan kembali penyelewengan terhadap UUD yang telah terjadi dalam masa Demokrasi Terpimpin telah diadakan sejumlah tindakan korektif. Langkah itu dimulai dengan pembatalan ketetapan MPRS No.III/1963 yang menetapkan jabatan Presiden seumur untuk Ir.Soekarno dan jabatan Presiden ditetapkan kembali menjadi jabatan elektif setiap lima tahun. Dan juga sejumlah kebijakan lain yang menempatkan roh Pancasila dan UUD 1945 didalamnya.
Dalam perkembangan lebih lanjut pada pada masa Republik Indonesia II disebut juga sebagai Orde Baru, menunjukkan peranan Presiden semakin besar. Secara lambat laun tercipta pemusatan kekuasaan di tangan Presiden karena Presiden Soeharto telah menjelma sebagai seorang tokoh yang paling dominan dalam sistem politik Indonesia. Hal ini tidak saja karena masa jabatannya dalam sistem presidensial, tetapi karena juga pengaruhnya yang dominan dalam elit politik. Keberhasilan penumpasan G30S/PKI dan pembubarannya, kemudian dengan Supersemar memberi peluang bagi dirinya untuk menjadi orang nomor satu di Indonesia menggantikan Soekarno.
Masa Republik Indonesia III menunjukkan keberhasilan dalam penyelenggaraan Pemilu yang diadakan secara teratur dan berkesinambungan setiap lima tahun dimuali dari 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Slogan orde baru ini yakni melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Meski pemilu diadakan secara regular tetapi sebenarnya hanya dimenangkan oleh satu dari tiga kontestan Pemilu yaitu Golkar, padahal sebenarnya ada dua Partai Politik lain yakni Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia yang hanya berperan sebagai penggembira saja.
Di bidang politik, dominasi Presiden Soeharto telah membuat Presiden menjadi penguasa mutlak karena tidak ada satu institusi/lembaga pun yang dapat menjadi pengawas Presiden dan mencegahnya melakukan penyelewengan kekuasan (abuse of power). Menjelang berakhirnya orde baru para elit politik seakan tidak mempedulikan lagi aspirasi rakyat dan semakin banyak membuat kebijakan yang menguntungkan para korni dan merugikan negara dan rakyat banyak.
Gerakan Mahasiswa yang berhasil menduduki gedung MPR/DPR di Senayan pada Mei 1998 merupakan langkah awal kejatuhan Presiden Soeharto dan tumbangnya orde baru. kekuatan mahasiswa demikian besar dan kuatnya dukungan dari masyarakat membuat Soeharto pada 20 Mei 1998 mengundurkan diri dari kursi Kepresidenan sebagai pertanda berakhirnya masa Republik Indonesia III yang disusul munculnya Republik Indonesia IV.

4)     Masa Republik Indonesia IV (1998 – sekarang):
Masa Reformasi
Tumbangnya orde baru membuka peluang terjadinya reformasi politik dan demokratisasi di Indonesia. Pengalaman orde baru mengajarkan kepada bangsa Indonesia bahwa pelanggaran terhadap demokrasi membawa bangsa ini kepada kehancuran dan penderitaan rakyat. Oleh karena itu bangsa Indonesia kembali bersepakat untuk sekali lagi melakukan demokratisasi, yakni proses pendemokrasian sistem politik Indonesia sehingga kebebasan rakyat terbentuk, kedaulatan rakyat dapat ditegakkan, dan pengawasan  terhadap lembaga eksekutif dapat dilakukan oleh lembaga wakil rakyat (DPR).
Habibie dilantik sebagai Presiden menggantikan Soeharto dan dapat dianggap sebagai Presiden yang dapat memulai langkah-langkah demokratisasi dalam orde reformasi. Langkah pertama yang dilakukan oleh Pemerintahan Habibie adalah mempersiapkan Pemilu dengan mengeluarkan UU Partai Politik, UU Pemilu dan UU Susuan dan Kedudukan DPR, DPRD yang baru disahkan pada awal 1999. Pemilu 1999 dianggap dunia internasional sebagai pemilu paling demokratis. Pada masa Habibie juga dihapus Dwi-fungsi ABRI dengan menghilangkan fungsi sosial-politik dan menyisakan fungsi pertahanan.
Setelah berjalan lima tahun, langkah demokratisasi selanjutnya adalah Pemilu 2004 yang menetapkan pemilihan Presiden secara langsung oleh rakyat Indonesia serta Pemilihan legislatif. Di masa ini juga dengan UU No.32 tahun 2002 tentang Pemerintahan Daerah, mengharuskan semua kepala daerah di seluruh Indonesia dipilih melalui pilkada secara langsung oleh rakyat.
Memang benar demokratisasi adalah proses tanpa akhir. Karena demokrasi adalah sebuah kondisi yang tidak pernah terwujud secara tuntas. Namun dengan adanya perubahan-perubahan dalam sistem politik Indonesia, demorasi di Indonesia telah mempunyai dasar yang kuat untuk berkembang. (Budiardjo, 2008).

DAFTAR PUSTAKA
Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar - Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Ikrar Mandiriabadi.
Gaffar, Afan. 2006. Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sjahrir. 2004. Transisi Menuju Indonesia Baru. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.



[1]Untuk lengkapnya silahkan baca di: http://mjieschool.multiply.com/journal/item/30/BUDAYA_POLITIK?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem

SOAL UTS MATA KULIAH KOMUNIKASI BISNIS