PERSPEKTIF BUDAYA DALAM KOMUNIKASI POLITIK
(Kajian Perkembangan Demokrasi Di Indonesia)
Oleh :
Monika Wutun
Pengantar
Budaya politik merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat
dengan ciri-ciri yang lebih khas karena menyangkut masalah legitimasi,
kekuasaan, pembentukan kebijakan pemerintah, bisa juga kegiatan partai politik,
termasuk di dalamnya perilaku aparat negara, serta bagaimana perkembangan
masyarakat dalam menilai pemerintahan.
Budaya politik juga dapat dipahami sebagai sistem nilai dan
keyakinan yang dimiliki bersama oleh masyarakat. Sehingga ketika nilai dan
keyakinan tertentu dilekatkan pada suatu masyarakat akan berbeda dalam
aplikasinya, seperti contoh budaya politik barat tidak dapat diterapkan dengan
seutuhnya di Indonesia. Karena itu dibutuhkan komunikasi politik yang baik
untuk menyepakati aliran budaya politik yang berlaku di Indonesia pada masa
tertentu tergantung sistem pemerintahannya.
Budaya politik dapat dibedakan atas tiga tipe yaitu
berdasarkan sikap yang ditunjukkan, sikap terhadap tradisi dan perusahan, serta
berdasarkan orientasi politik.[1] Berikut uraian dari tiga tipe tersebut:
1) Berdasarkan
Sikap Yang Ditunjukkan, terdiri dari:
a)
Budaya politik Militan:
Budaya
politik dimana perbedaan tidak dipandang sebagai usaha mencari alternatif
terbaik, tetapi dipandang sebagai usaha menantang yang jahat. Bila terjadi
krisis, maka yang dicari adalah kambing hitamnya dan bukannya menjadi penyebab
apakah karena aturan yang salah, tetapi lebih ke masalah mempribadi yang
terkesan emosional.
b)
Budaya Politik Toleransi:
Budaya
politik dimana pemikiran berpusat pada masalah atau ide yang harus dinilai,
berusaha mencari konsensus yang wajar yang mana selalu membuka pintu untuk
bekerja sama. Sikap netral atau kritis terhadap ide orang, tetapi bukan curiga
terhadap orang.
2) Berdasarkan
Sikap Terhadap Tradisi Dan Perubahan, terdiri dari:
a)
Budaya
politik yang memiliki sikap mental absolut
Budaya politik yang mempunyai sikap
mental yang
absolut memiliki nilai-nilai dan kepercayaan yang dianggap selalu sempurna dan tak dapat diubah lagi. Budaya tipe ini tumbuh dari
tradisi, dan jarang bersifat kritis terhadap tradisi malahan berusaha
memelihara kemurnian tradisi. Unsur baru dianggap sebagai pengganggu dan mereka
cenderung menolaknya.
b) Budaya politik yang memiliki sikap mental akomodatif
Struktur mental yang bersifat akomodatif biasanya terbuka dan sedia
menerima apa saja yang dianggap berharga. Ia dapat melepaskan ikatan tradisi, kritis
terhadap diri sendiri, dan bersedia menilai
kembali tradisi berdasarkan perkembangan masa kini.
3) Berdasarkan
Orientasi Politik, terdiri dari:
Gabriel
Almond mengklasifikasikan budaya politik dari realitas yang berkembang dalam
masyarakat sebagai berikut:
a) Budaya politik parokial (parochial political culture), yaitu tingkat partisipasi politiknya
sangat rendah, yang disebabkan faktor kognitif (misalnya tingkat pendidikan
relatif rendah).
b)
Budaya
politik kaula (subyek political culture),
yaitu masyarakat bersangkutan sudah relatif maju (baik sosial maupun
ekonominya) tetapi masih bersifat pasif.
c)
Budaya
politik partisipan (participant political culture),
yaitu budaya politik yang ditandai dengan kesadaran politik sangat tinggi.
Budaya Politik
Indonesia
Budaya Politik: Makna dan Perwujudannya
Konsep budaya politik baru muncul dan mewarnai wacana ilmu
politik pada akhir Perang Dunia II, sebagai dampak perkembangan politik Amerika
Serikat. Di Amerika serikat masa itu terjadi revolusi dalam ilmu politik yang
dikenal sebagai Behavioral Revolution
atau ada juga menamakan dengan Behavioralism.
Hal ini terjadi sebagai dampak dari semakin menguatnya tradisi atau mazhab positivisme, sehingga muncul mazhab
chicago yang memulai pendekatan baru dalam ilmu politik.
Teori tentang budaya politik merupakan salah satu bentuk
teori yang dikembangkan dalam memahami sistem politik. Gabiel Almond dan Sidney
Verba, merupakan dua orang ilmuwan politik yang mengembangkan teori tentang
kebudayaan politik dengan melakukan kajian di lima negara yang ditampilkan
dalam buku The Civic Culture. Civic Culture ini menurut Almond dan
Verba, merupakan basis bagi budaya politik dalam membentuk demokrasi.
Budaya politik, menurut Almond dan Verbal dalam Gaffar
(2006), merupakan sikap individu terhadap sistem politik dan
komponen-komponennya, juga sikap individu terhadap peranan yang dapat dimainkan
dalam sebuah sistem politik. Budaya politik tidak lain daripada orientasi
psikologis terhadap objek sosial, dalam hal ini sistem politik kemudian
membentuk proses internalisasi ke dalam bentuk orientasi yang bersifat
kognitif, afektif dan evaluatif.
Orientasi yang bersifat kognitif menyangkut pemahaman dan
keyakinan individu terhadap sistem politik dan atributnya, seperti ibu kota
negara, lambang negara, kepala negara dan lain sebagainya. Sementara orientasi
yang bersifat afektif menyangkut ikatan emosional yang dimiliki individu
terhadap sistem politik. Sedangkan orientasi yang bersifat evaluatif menyangkut
kapasitas individu dalam rangka memberikan penilaian terhadap sistem politik
yang sedang berjalan dan bagaimana peranan individu di dalamnya.
Almond dan Verba juga menyampaikan bahwa budaya politik yang
demokratik, dalam hal ini budaya politik yang partisipatif, akan mendukung
terbentuknya sebuah sistem politik yang demokratik dan stabil. Budaya politik
yang demokratik ini menyangkut “suatu
kumpulan sistem keyakinan, sikap, norma, persepsi dan sejenisnya, yang menopang
terwujudnya partisipasi.”
Budaya Politik Indonesia
1)
Hierarki Yang Tegar
Sebenarnya sangat sulit untuk melakukan identifikasi budaya
politik Indonesia, karena atributnya tidak jelas. Akan tetapi, suatu hal yang
barangkali dapat dijadikan titik tolak untuk membicarakan masalah ini adalah
adanya sebuah pola budaya yang dominan, yang berasal dari kelompok etnis yang
dominan pula, yaitu kelompok etnis jawa. Etnis ini sangat mempengaruhi sikap,
perilaku dan orientasi politik kalangan elit di Indonesia.
Claire Holt, Benedict Anderosn, dan James Siegel penulis Political Culture Indonesia dalam Gaffar (2006), dengan pembicaraan awal
yang dikemukakan adalah menyangkut konsep kekuasaan dalam masyarakat Jawa.
Menurut mereka konsep kekuasaan dalam masyarakat Jawa berbeda sekali dengan apa
yang dipahami oleh masyarakat barat. Bagi masyarakat Jawa, kekuasaan itu
bersifat konkret, besarannya konstan, sumbernya homogen, dan tidak berkaitan
dengan persoalan legitimasi. Hal ini berbeda dengan masyarakt barat, dimana
kekuasaannya bersifat abstrak dan berasal dari berbagai macam sumber seperti
uang, harta kekayaan, fisik, kedudukan, asal usul, dan lain sebagainya.
Masyarakat Jawa dan sebagian besar masyarakat Indonesia lain,
pada dasarnya bersifat hierarkis. Stratifikasi sosial bukan didasarkan pada
atribusi sosial yang bersifat materialistik, tetapi lebih pada akses kekuasaan.
Ada pemilahan yang tegas antara mereka yang memiliki kekuasaan yang disebut
kaum priyayi, dan rakyat kebanyakan. Hal ini diperlihatkan lewat bahasa,
gesture atau pola perilaku dengan tingkatan dalam budaya bahasa jawa seperti kromo inggil, kromo madya dan sampai
pada ngoko. (Gaffar, 2006).
Ketika konsep ini dilekatkan pada birokrat Indonesia
sekarang, maka yang terlihat mereka mempergunakannya sebagai bentuk citra diri (self image) yang menyebutkan mereka
sebagai pamong praja yang melindungi rakyat. Sehingga konsep pembangunan yang
ditampilkan adalah dari, oleh dan untuk rakyat, tetapi sebenarnya hanya
dijalankan oleh pemerintah atau merupakan keputusan para elit mengatasnamai
rakyat kebanyakan.
2) Kecenderungan Patronage
Salah satu budaya politik yang menonjol di Indonesia adalah
kecenderungan pembentukan pola hubungan patronage,
bagi di kalangan penguasa maupun masyarakat, yang didasarkan atas patronage atau oleh James Scott sebagai
pola hubungan patron-client (Gaffar,
2006).
Pola hubungan dalam konteks ini bersifat individual. Antara
dua individu, yaitu si Patron dan si Client, terjadi interaksi yang bersifat
resiprokal atau timbal balik dengan mempertukarkan sumber daya yang dimiliki
oleh masing-masing pihak.
Si Patron memiliki
sumber daya yang berupa kekuasaan, kedudukan/jabatan, perlindungan, perhatian
dan rasa sayang, dan tidak jarang pula sumber daya berupa materi. Sementara, Client memiliki sumber daya berupa
tenaga, dukungan dan loyalitas. Pola hubungan tersebut akan tetap dipelihara
selama masing-masing pihak tetap memiliki sumber daya tersebut. Namun yang
paling sering menikmati hasil dari hubungan ini adalah Si Patron. Diantara Patron dan
Client, ada pihak ketiga yang
mengetarai yang disebut sebagai brooker
atau middleman.
Di Indonesia kecenderungan ini dapat ditemukan secara luas
baik dalam lingkungan birokrasi maupun dalam kalangan masyarakat. Presiden bisa
menjadi Patron bagi beberapa orang Menteri. Menteri tersebut kemudian
memfungsikan diri sebagai middleman
terhadap sejumlah Menteri yang lain. Menteri yang lain ini kemduain menjadi Client yang sesunggunya. Kemudian mereka
bisa menjadi middleman lagi bagi para
Direktur Jenderal, Sekeretaris Jenderal, atau Inspektorat Jenderal dan demikian
seterusnya sampai ke tingkat birokrasi paling rendah.
3)
Kecenderungan
Neo-Patrimonialistik
Salah satu kecenderungan yang dapat kita amati dalam
perpolitikan Indonesia adalah sebuah kecenderungan akan munculnya budaya
politik yang bersifat neo-patrimonialistik.
Konsep Patriomonialistik yang dikembangkan oleh Max Weber, menurut Gaffar
(2006), cukup relevan kalau dikaitkan dengan Pemerintahan Orde Baru. Weber
mengatakan bahwa sebuah negara disebut sebagai negara yang patrimonialistik,
manakala penyelenggaraan pemerintahan dan kekuatan militer berada di bawah
kontrol langsung Pimpinan Negara, yang mempersepsikan segala sesuatunya secara
pribadi dalam sistem ekonomi yang kapitalistik.
Dinyatakan
pula oleh Weber, bahwa negara Patriomonialistik memiliki sejumlah karakteristik
yang menyolok. Pertama, kecenderungan
untuk mempertukarkan sumber daya yang dimiliki seorang penguasa kepada
teman-temannya. Kedua, kebijaksanaan
seringkali lebih bersifat partikularistik daripada univesalistik. Ketiga, rule of law merupakan sesuatu yang sifatnya sekunder bila
dibandingkan dengan kekuasaan dari seorang penguasa (rule of man). Keempat, kalangan
penguasa politik seringkali mengaburkan antara mana yang kepentingan umum dan
mana yang menyangkut kepentingan pribadi/golongan.
Perkembangan Demokrasi di Indonesia
Perkembangan demokrasi di Indonesia mengalami pasang surut
sejak negara ini diproklamasikan. Masalah pokok yang lebih banyak kita hadapai
adalah bagaimana dalam masyarakat yang beraneka ragam pola budayanya, kita mempertinggi tingkat ekonomi daripada
membina suatu kehidupan sosial politik yang demokratis. Dan masalah pokok kita
sebenarnya berkisar pada penyusunan suatu sistem politik dengan kepemimpinan
yang kuat dalam melaksanakan pembangunan nasional, dengan partisipasi rakyat
(Budiardjo, 2008).
Budiardjo (2008) membagi perkembangan demokrasi berdasarkan sejarah
Indonesia dapat dibagi dalam empat masa, yaitu:
1)
Masa Republik Indonesia I
(1945-1959):
(Masa Demokrasi
Konstitusional)
Sistem parlementer yang mulai berlaku sebulan sesuah
kemerdekaan diproklamirkan dan kemudian diperkuat dalam Undang-Undang Dasar
1949 dan 1950, ternyata kurang cocok untuk Indonesia meskipun dapat berjalan
memuaskan pada beberapa negara di Asia. Persatuan yang dapat digalang untuk
selalu menghadapi musuh bersama menjadi kendor dn tidak dapat dibina menjadi
kekuatan konstruktif sesuah kemerdekaan dicapai. Karena lemahnya benih-benih
demokrasi maka sistem parlementer memberi peluang untuk dominasi partai-partai
politik dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Undang-Undang Dasar 1950 menetapkan berlakunya sistem
parlementer dimana badan eksekutif yang terdiri atas Presiden sebagai kepala
negara konstitusional dan menteri-menterinya mempunyai tanggung jawab politik.
Karena fragmentasi partai-partai politik, setiap kabinet yang berdasarkan
koalisis yang berkisar pada satu atau dua partai besar dan beberapa partai
kecil. Koalisi ternyata tidak mantap dan sering berakhir pada perpecahan.
Selain itu partai politik yang berperan sebagai oposisi pun tidak mampu
berperan sebagai oposan yang konstruktif yang dapat menyusun program
alternatif, tetapi hanya menonjolkan sisi negatif dari partai penguasa.
Umumnya Kabinet dalam masa pra pemililihan umum (pemilu) yang
diadakan tahun 1955 tidak dapat bertahan lama dari rata-rata delapan bulan. Dan
hal ini menghambat perkembangan ekonomi dan politik karena Pemerintah tidak
diberi kesempatan untuk melaksanakan programnya. Pemilu 1955 pun ternyata tidak
dapat menghindarkan perpecahan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Hal ini membuat Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli
1959 untuk menentukan kembali berlakunya Undang-Undang Dasar 1945. Dengan
demikian sistem parlementer pun berakhir.
2)
Masa Republik Indonesia
II (1959-1965):
Masa Demokrasi Terpimpin
Ciri-ciri periode ini adalah dominasi dari Presiden,
terbatasnya peranan partai politik, berkembangnya paham komunis, dan
meluasnyaperanan ABRI sebagai unsur sosial-politik.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dapat dipandang sebagai suatu
usaha untuk mencari jalan keluar dari kemacetan politik melalui pembentukan
kepemimpinan yang kuat. UUD 1945 membuka kesempatan bagi seorang Presiden untuk
bertahan sekurang-kurangnya leima thaun. Akan tetapi ketetapan MPRS No.III/1963
yang mengangkat Ir.Soekarno sebagai Presiden seumur hidup telah membatalkan pembatasan
waktu lima tahun ini. Masih banyak lagi penyimpangan atau penyelewengan
terhadap ketentuan-ketentuan di dalam UUD 1945, seperti di tahun 1960 Soekarno
sebagai Presiden membubarkan DPR hasil Pemilu padahal dalam penjelasan UUD
Presiden tidak dapat membubarkan DPR. Kemudian dibentuk DPR Gotong Royong yang
berfungsi membantu pemerintah tanpa ada fungsi kontrol. Bahkan pimpinan DPR
dijadikan sebagai Menteri sehingga dapat ditekan untuk membantu Presiden.
Pada masa ini doktrin trias
politica telah ditinggalkan dengan sejumlah penyelewengan lain sampai pada
campur tangan Presiden pada kewenagan Yudikatif (Penegakan hukum). Indonesia
masa itu lebih mengedepankan politik mercu
suar dengan menampilkan terbaik ke luar negeri sementara ekonomi dalam
negeri bertambah suram. G 30 S/PKI telah mengakhi periode ini dan membuka
peluang dimulainya masa demokrasi baru.
3)
Masa Republik Indonesia
III (1965-1998):
Masa Demokrasi Pancasila
Landasan formal dari periode ini adalah Pancasila,
Undang-Undang Dasar 1945, serta Ketetapan-ketetapan MPRS. Dalam usaha untuk
meluruskan kembali penyelewengan terhadap UUD yang telah terjadi dalam masa
Demokrasi Terpimpin telah diadakan sejumlah tindakan korektif. Langkah itu
dimulai dengan pembatalan ketetapan MPRS No.III/1963 yang menetapkan jabatan
Presiden seumur untuk Ir.Soekarno dan jabatan Presiden ditetapkan kembali
menjadi jabatan elektif setiap lima tahun. Dan juga sejumlah kebijakan lain
yang menempatkan roh Pancasila dan UUD 1945 didalamnya.
Dalam perkembangan lebih lanjut pada pada masa Republik
Indonesia II disebut juga sebagai Orde Baru, menunjukkan peranan Presiden
semakin besar. Secara lambat laun tercipta pemusatan kekuasaan di tangan
Presiden karena Presiden Soeharto telah menjelma sebagai seorang tokoh yang
paling dominan dalam sistem politik Indonesia. Hal ini tidak saja karena masa
jabatannya dalam sistem presidensial, tetapi karena juga pengaruhnya yang dominan
dalam elit politik. Keberhasilan penumpasan G30S/PKI dan pembubarannya,
kemudian dengan Supersemar memberi peluang bagi dirinya untuk menjadi orang
nomor satu di Indonesia menggantikan Soekarno.
Masa Republik Indonesia III menunjukkan keberhasilan dalam
penyelenggaraan Pemilu yang diadakan secara teratur dan berkesinambungan setiap
lima tahun dimuali dari 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Slogan orde
baru ini yakni melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Meski pemilu
diadakan secara regular tetapi sebenarnya hanya dimenangkan oleh satu dari tiga
kontestan Pemilu yaitu Golkar, padahal sebenarnya ada dua Partai Politik lain
yakni Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia yang hanya
berperan sebagai penggembira saja.
Di bidang politik, dominasi Presiden Soeharto telah membuat
Presiden menjadi penguasa mutlak karena tidak ada satu institusi/lembaga pun
yang dapat menjadi pengawas Presiden dan mencegahnya melakukan penyelewengan
kekuasan (abuse of power). Menjelang
berakhirnya orde baru para elit politik seakan tidak mempedulikan lagi aspirasi
rakyat dan semakin banyak membuat kebijakan yang menguntungkan para korni dan
merugikan negara dan rakyat banyak.
Gerakan Mahasiswa yang berhasil menduduki gedung MPR/DPR di
Senayan pada Mei 1998 merupakan langkah awal kejatuhan Presiden Soeharto dan
tumbangnya orde baru. kekuatan mahasiswa demikian besar dan kuatnya dukungan
dari masyarakat membuat Soeharto pada 20 Mei 1998 mengundurkan diri dari kursi
Kepresidenan sebagai pertanda berakhirnya masa Republik Indonesia III yang
disusul munculnya Republik Indonesia IV.
4)
Masa Republik Indonesia
IV (1998 – sekarang):
Masa Reformasi
Tumbangnya orde baru membuka peluang terjadinya reformasi
politik dan demokratisasi di Indonesia. Pengalaman orde baru mengajarkan kepada
bangsa Indonesia bahwa pelanggaran terhadap demokrasi membawa bangsa ini kepada
kehancuran dan penderitaan rakyat. Oleh karena itu bangsa Indonesia kembali
bersepakat untuk sekali lagi melakukan demokratisasi, yakni proses
pendemokrasian sistem politik Indonesia sehingga kebebasan rakyat terbentuk,
kedaulatan rakyat dapat ditegakkan, dan pengawasan terhadap lembaga eksekutif dapat dilakukan
oleh lembaga wakil rakyat (DPR).
Habibie dilantik sebagai Presiden menggantikan Soeharto dan
dapat dianggap sebagai Presiden yang dapat memulai langkah-langkah
demokratisasi dalam orde reformasi. Langkah pertama yang dilakukan oleh
Pemerintahan Habibie adalah mempersiapkan Pemilu dengan mengeluarkan UU Partai
Politik, UU Pemilu dan UU Susuan dan Kedudukan DPR, DPRD yang baru disahkan
pada awal 1999. Pemilu 1999 dianggap dunia internasional sebagai pemilu paling
demokratis. Pada masa Habibie juga dihapus Dwi-fungsi ABRI dengan menghilangkan
fungsi sosial-politik dan menyisakan fungsi pertahanan.
Setelah
berjalan lima tahun, langkah demokratisasi selanjutnya adalah Pemilu 2004 yang
menetapkan pemilihan Presiden secara langsung oleh rakyat Indonesia serta
Pemilihan legislatif. Di masa ini juga dengan UU No.32 tahun 2002 tentang
Pemerintahan Daerah, mengharuskan semua kepala daerah di seluruh Indonesia
dipilih melalui pilkada secara langsung oleh rakyat.
Memang benar demokratisasi adalah proses tanpa akhir. Karena
demokrasi adalah sebuah kondisi yang tidak pernah terwujud secara tuntas. Namun
dengan adanya perubahan-perubahan dalam sistem politik Indonesia, demorasi di
Indonesia telah mempunyai dasar yang kuat untuk berkembang. (Budiardjo, 2008).
DAFTAR PUSTAKA
Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar - Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT
Ikrar Mandiriabadi.
Gaffar, Afan. 2006. Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
http://mjieschool.multiply.com/journal/item/30/BUDAYA_POLITIK?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem diakses 29 Mei 2012,
18:32WIB.
Sjahrir.
2004. Transisi Menuju Indonesia Baru.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
[1]Untuk lengkapnya
silahkan baca di: http://mjieschool.multiply.com/journal/item/30/BUDAYA_POLITIK?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem
Komentar
Posting Komentar