Being Middle Eastern American:
Identity Negotiation in the
Context of the War on Terror
By: Amir Marvasti (Penn State Altoona)
(Menjadi Warga Amerika Keturunan Timur Tengah:
Negosiasi
Identitas dalam Konteks Perang Melawan Teror)
Reviewers:
Monika Wutun, Benazir Pratamawati & Aris Juliansyah
Artikel ini berbicara mengenai rusaknya identitas (spoiled identity) warga amerika keturunan timur tengah karena
adanya stigma di kalangan masyarakat terhadap mereka setelah tragedi 11
September 2001. Amir Mavasti (Penulis) mengklasifikasikan orang-orang keturunan
Timur Tengah dalam menghadapi stigma tersebut dengan menggunakan
metode Fenomenologi dan mengacu pada Teori Interaksionalisme Simbolik ke dalam lima kategori : Humorous, Educational, Deviant, Coworing, dan
Passing.
Walalupun prasangka dan diskrimninasi yang menentang kelompok etnik ini
telah ada berdekade-dekade sebelum 11/9, akan tetapi intensitas dan tuntutan
akan permintaan penjelasan adalah sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Dalam kehidupan sehari-hari orang-orang bertanya kepada warga Timur Tengah
hanya berasal dari rasa ingin tahu tetapi setelah 11/9 mereka malah meminta
penjelasan dengan nada menuduh dan adanya tuntutan untuk harus dijawab.
Beberapa studi menonjolkan bagaimana individu-individu yang terstigma
mengaplikasikan berbagai pertahanan diri dan strategi-strategi manajemen dalam
merespon pelabelan negatif. Mereka (studi) juga mengungkapkan individu tersebut
menggunakan berbagai teknis seperti humor,
penyingkapan selektif, untuk
menghindari stigmatisasi atau mengurangi akibat dari stigma terhadap identitas
mereka yang rusak (spoiled identity).
Menurut Goffman, stigma adalah sebuah variabel dari konstruksi sosial dan
bukan karakteristik yang tetap dari individu. Stigma dibatasi oleh peran
sosial, harapan dan maknanya didapatkan dari konteks-konteks sosial tertentu. Lebih
jauh lagi Link dan Phelan mencatat bahwa stigma memiliki konsep yang beraneka
ragam. Dengan demikian, studi mengenai stigma bisa diklasifikasikan berdasarkan
aspek mana dari proses stigmatisasi tersebut yang ditekankan.
Penulisan menyebutkan bahwa fokus utamanya, pada stigma obtrusiveness (yang menonjol) dan disruption (gangguan) yang ditimbulkanya
dalam rutinitas sehari-hari. Dari perspektif stigmatisasi, ganguan-ganguan
tersebut secara khusus signifikan dalam prinsip-prinsip moral yang mereka miliki
dan bagaimana mereka menilai diri mereka sendiri dan orang lain dari waktu ke
waktu.
Pada faktanya pendapat-pendapat negatif terhadap warga amerika keturunan
timur tengah telah terjadi pada tragedi penahanan sandera oleh militant
Palestina yang menahan sebelas atlit Israel pada pelaksanaan olimpiade di
Munich tahun 1972. Tragedi yang terjadi setelahnya semakin menguatkan opini-opini
negatif yang ada diantaranya adalah: tragedi penyanderaan oleh Iran tahun 1979,
Perang Teluk pertama tahun 1991 dan 1993; kemudian pemboman World Trade Center pada tahun 2001. Setiap
tragedi diikuti oleh gelombang kejahatan criminal dan diskriminasi, mesjid-mesjid
dirusaki dan orang-orang dipecat dari pekerjaannya dan penyerangan di jalanan.
Istilah “tersangka
teroris” telah memiliki definisi yang sangat luas yang meliputi ribuan
laki-laki keturunan timur tengah yang telah diwawancarai, ditahan atau
dideportasi karena pelanggaran imigrasi ringan. Selain itu ungkapan “berwajah
timur tengah” hampir selalu diasosiasikan dengan ancaman teroris bahkan
memiliki konotasi yang sama dengan kata “black
suscpect” (tersangka hitam). Setelah era 11/9 orang-orang berwajah timur
tengah terutama lelaki mengalami kejahatan verbal, penyerangan fisik dan
terkadang dibunuh terlepas dari kebangsaan mereka yang sebenarnya atau hubungan
mereka dengan Islam atau timur tengah.
Penulis dalam menulis
artikel ini melakukan penelitian dengan cara: wawancara mendalam. Dia
melakukannya dengan 20 Responden dengan 12 laki-laki dan 8 wanita, dengan rentang
usia 18 – 55 tahun. Semua baik yang sedang kuliah atau telah lulus, dan tinggal
di tiga negara bagian yang berbeda yaitu Florida, Pennsylvania dan Virginia. Dari
20 responden, 17 diantaranya dilakukan dengan wawancara face to face dan 3 menggunakan telepon yang direkam melalui speaker phone.
Koleksi data mengambil
bentuk dari interview aktif dimana partisipan dan peneliti sama-sama
berkontribusi dalam pembentukan makna.
Lima kategori manajemen
strategi menghadapi stigma terhadap warga amerika keturunan timur tengah:
1)
Humorous Accounting (Penjelasan secara humor)
Saat responden
ditanyakan mengenai identitas etnis mereka, terkadang mereka menggunakan humor sebagai sebuah cara pengalihan
perhatian dari stereotype-stereotype yang mengancam identitas mereka. Dalam hal
ini mereka menggunakan humor sebagai teknik pengalihan. Dalam tipe penjelasan
ini, individu-individu menggunakan humor untuk membentuk sebuah pemahaman umum
atau “memfasilitasi penormalan pengambilan peran.”
Penulis
menyebutkan sebuah contoh kisah nyata dari seorang Respondenya yang bernama
Ladan yang memiliki nama hampir sama dengan Osama Bin Laden. Saat seorang asing
bertanya mengenai apakah dia memiliki hubungan keluarga dengan Osama Bin Laden
atau tidak, dia menjawabnya dengan cara berhumor, “Ya, dia adalah sepupu saya.
Sebenarnya malam ini dia akan datang makan malam di tempat saya.”
Orang yang
bertanya tersebut mengalami perubahan sikap yang awalnya ramah berubah dingin
dan segera meninggalkan Ladan.
Saat ditanyakan
mengapa dia menjawab dengan cara humor seperti itu, Ladan menjawab, “saya
melakukannya karena jika saya tidak mengubah pertanyaan tersebut menjadi humor atau sesuatu yang lucu saya akan
merasa marah. Saya merasa sangat-sangat disakiti.”
Di dalam humour accounting (penjelasan secara
humor), substansi dari penjelasan bersifat kurang penting dan secara sengaja
diremehkan. Pemberi penjelasan menyadari adanya permintaan pemberian penjelasan
dalam pertemuan dan secara simultan menilai legitimasi dan urgensi dari
permintaan penjelasan tersebut. Cara penerima penjelasan menggunakan substansi
dari hal tersebut membentuk identitas dalam pertanyaan.
2)
Educational Accounting (Penjelasan Beredukasi)
Terkadang
penjelasan secara sengaja dilakukan dalam bentuk sesuatu yang mendidik. Dalam
beberapa kasus si pemberi penjelasan mengasumsikan perannya sebagai seorang
pendidik, menginformasikan dan mengajarkan si penerima mengenai topik yang
relevan. Strategi penormalisasian ini menyerang stigma dengan mengoreksi
stereotype-stereotype. Tidak seperti humorous
accounting, educational accounting menonjolkan
sisi substansi informasi dari penjelasannya.
Selain itu tidak
seperti humorous accounting dimana
pemberi penjelasan secara sengaja meremehkan steroype-stereotype budaya, educational accounting secara eksplisit
dan tekun merujuk pada hal-hal itu untuk menghilangkan prasangka-prasangka.
Pemberi penjelasan harus memberikan perhatian yang sungguh-sungguh di dalam
memutuskan pertanyaan-pertanyaan apa yang pantas untuk mendapatkan educational account.
Educational
accounting adalah strategi yang umum digunakan oleh
wanita-wanita warga amerika keturunan timur tengah yang menjadi responden
terutama mereka yang menggunakan hijab atau jilbab.
3)
Deviant Accounting (Penjelasan Yang Menantang)
Saat warga amerika
keturunan timur tengah didesak untuk memberikan penjelasan terkadang mereka
menjawabnya dengan marah atau dongkol. Penulis menyebut hal tersebut sebagai deviant accounting. Sama halnya dengan humorous accounting pemberi penjelasan
mendesak penanya dengan menantang hak mereka dan alasan mereka meminta
penjelasan tersebut.
Bagaimana pun juga
saat humorous accounting menunjukkan
keberatan-keberatan tidak langsung dan bersifat mendamaikan terhadap stigma
dalam kasus deviant accounting stigmatisasi
tersebut secara eksplisit meminta penjelasan jawaban dari yang dianggap normal.
Alih-alih
bertujuan untuk mencapai konsensus deviant
accounting mengedepankan beberapa
poin yang bertentangan dan mengisyaratkan keberatan pemberi penjelasan terhadap
keseluruhan masalah. Interaksi yang terjadi secara eksplisit terfokus pada
pertukaran yang adil antara pemberi penjelasan dan penerima penjelasan. Pemberi
penjelasan secara khusus terus menggunakan strategi-strategi deviant (yang menantang) saat mereka
berhadapan dengan permintaan akan penjelasan yang tidak adil. Secara spesifik
etnis minoritas yang selalu dijadikan sasaran dalam penggeneralisasiayn berpeluang
menjadi deviant dalam merespon
permintaan yang tidak adil.
Deviant
accounting adalah pendekatan yang beresiko, baik dapat
melindungi pemberi penjelasan dari proses yang berpotensi penghinaan atau
menghasilkan permintaan-permintaan tambahan (pertanyaan lainnya).
4)
Cowering (Kepengecutan)
Stigma yang secara
khusus ditahan dalam jangka waktu yang lama, dapat menyebabkan seseorang
menjadi apa yang disebut oleh Goffman sebagai “defensive cowering” : secara sederhana stigmatisasi sejalan dengan
tuntutan-tuntutan yang bersifat
stereotype yang diatur untuk menghindari kerusakan yang lebih besar. Dalam
wawancara yang dilakukan penulis dengan beberapa responden, ditemukan bahwa
dalam kebanyakan kasus ciri-ciri utama yang ditunjukkan oleh seorang cowering adalah lebih mementingkan
keselamatan fisik daripada keselamatan image
atau identitas.
Dalam point-point
diskriminasi tertentu, stigmatisasi telah menjadi titik balik atau epifani oleh
seorang cowering yang mendefinisikan
dirinya sebagai seorang deviant dan
tidak berkekuatan dalam menjalin hubungan dengan orang-orang normal lainnya.
5)
Passing
Menurut Goffman
tujuan dari passing adalah kontrol
informasi dan penyembunyian atribut-atribut stigmatisasi dari “kenormalan”.
Sebagai salah satu strategi penjelasan passing
berarti mengeliminasi kebutuhan akan sebuah penjelasan bagaimana
individu-individu menampilkan identitas mereka memiliki potensial untuk
mengeliminasi kebutuhan akan penjelasan secara keseluruhan. Sebuah passing yang sukses, membutuhkan self-presentation – dalam hal ini perhatian terhadap pakaian dan kerapian dengan derajat kepentingan sama.
Beberapa
warga amerika keturunan timur tengah berusaha membiarkan aggapan tertentu dengan
memperdagangkan identitas etnis mereka sendiri dengan etnis yang kurang kontroversial.
Cara paling sederhana untuk melakukan hal tersebut adalah dengan pindah ke
daerah yang memiliki beragam etnis. Strategi lain dalam passing adalah dengan memberikan penjelasan ambigu dalam merespon
pertanyaan mengenai identitas etnis. Strategi passing memainkan peran yang beresiko dalam stigmatisasi. Secara
khusus media telah membentuk passing
di kalangan warga amerika keturunan timur tengah sebagai kepanjangan dari “evil terrorist plot”
Komentar
Posting Komentar