Senin, 04 Juni 2018

Materi Kuliah Media Relations (Rabu, 23 Mei 2018)


Publisitas dan Konferensi Pers
Dosen: Monika Wutun,S.sos.,M.I.Kom
PART 1
PUBLISITAS
       TIDAK ADA BATAS UNTUK RUANG KREATIF KEGIATAN PUBLISITAS (dalam PR) - (LESLY,1992)
       Publisitas adalah penyebaran pesan yang direncanakan dan dilakukan untuk mencapai tujuan lewat media tertentu untuk kepentingan tertentu dari organisasi dan perorangan tanpa pembayaran tertentu pada media (Lesly,1992)
       Cutlip dan Center à publisitas adalah penyebaran informasi secara sistematis tentang Lembaga atau perorangan.
       Sebagai Teknik publisitas dikategorikan menjadi tiga kelompok kegiatan:
1)    Kegiatan PR yang berkesinambungan
2)    Kegiatan jangka pendek yang direncanakan sebelumnya
3)    Kegiatan jangka pendek untuk peristiwa yagn tak terduga (manajemen krisis)
       Publisitas Kegiatan PR Yang Berkesinambungan:
1)    Keterlibatan organisasi dalam komunitas lokal
2)    Keterlibatan organisasi pada komunitas industry
3)    Penerbitan buletin, majalah atau koran perusahaan
4)    Employee Relations
5)    Media relations
6)    Foto dan media kit
7)    Hubungan dengan pemegang saham, pemilik dan komunitas finansial
       Publisitas Kegiatan PR Jangka Pendek Yang Direncanakan Sebelumnya:
1)    Siaran Pers
2)    Konferensi Pers
3)    Penyelenggaraan Kegiatan, acara peringatan atau upacara pembukaan
4)    Pengumuman
5)    Seminar untuk pers
6)    Hasil penelitian pasar
       Kegiatan Jangka Pendek Untuk Peristiwa Yang Tak Terduga (Manajemen Krisis)
       Prinsip-Prinsip Dasar Publisitas:
1.    Kreativitas (cerdas, unik dan segar)
2.    Beragam (gunakan beragam media)
3.    Kuantitas (repitisi pada publik)
4.    Visibilitas (mudah mendapat perhatian khalayak)
5.    Legibilitas (keterbacaan/keterdengaran-lihat sesuai dengan jenis media)
6.    Mudah dipahami
       Tiga Derajat Publisitas
1.    Publisitas percikan api (flash-fire publicity) – publisitas yang menyala dengan cepat tapi tak lama menarik perhatian.
2.    Publisitas api terjaga (controlled-burn publicity) – publisitas yang lebih terarah dan menggunakan metode tertentu.
3.    Publisitas Pemadam Kebakaran (firefighting publicity) – publikasi reaktif – contoh: ketika nama buruk melekat pada produk dilakukan publisitas untuk menyelesaikan masalah.
PART II
BAGAIMANA MERANCANG KONFERENSI PERS
       Hal Penting yang perlu diketahui PR tentang media massa menurut Jefkins:
1.    The Editorial Policy – (kebijakan redaksi).
2.    Frequency of publication – (harian/mingguan/bulanan atau edisi dll).
3.    Copy Date – (tenggat waktu)
4.    Printing Process – (khusus media massa / proses produksi untuk media elektronik)
5.    Circulations Area – (khusus media cetak/radio dan TV)
6.    Readers Profile – (profil membaca)
7.    Distribution Method – (cara penyebaran media – langganan/dll)
8.    Prinsip Membina Hubungan Pers Yang Baik Menurut Jefkins:
9.    By servicing the media - (memberikan pelayanan kepada media)
10. By establishing  a reputations for reliability - (menegakkan suatu reputasi agar dapat dipercaya)
11. By supplying good copy – (memasok naskah informasai yang baik)
12. By cooperations in providing material – (melakukan kerja sama yang baik dalam menyediakan bahan informasi)
13. By providing verification facilities – (penyediaan fasilitas yang memadai)
14. By building personal relationship with the media – (membangun hubungan personal dengan media)
       Distorsi dalam kerja sama PR dan Pers
1.    Persepsi tentang PR yang belum seragam (baik dalam PR dan di mata pers)
2.    Profesionalisme PR-Pers bersifat saling memanfaatkan.
3.    Apresiasi minimal dari kedua pihak.
4.    Kecenderungan PR mendekati pers bila ada masalah (trouble shooter)
5.    Kecenderungan PR memanfaatkan pers sbg lambang penyebar siaran pers.
6.    Kecenderungan instansi tertentu menggunakan pers dengan pendekatan kekuasaan.
7.    Pers memanfaatkan PR sebagai sumber berita.
       Bentuk-bentuk Kegiatan Hubungan Pers
1.    Konferensi Pers, temu pers/jumpa pers.
2.    Press Breafing
3.    Press Tour
4.    Press Release
5.    Special Event
6.    Press Luncheon
7.    Wawancara Pers
Penyelenggaraan Konferensi Pers
       Hal yang harus diperhatikan dalam mempersiapkan penyelenggaraan Konferensi Pers:
1.    Topik/tema yang akan disampaikan kepada media massa.
2.    Menetapkan orang yang akan menjadi juru bicara.
3.    Menyusun tim dengan pembagian tugas yang jelas.
4.    Menyusun media kit (data tertulis)
5.    Mempersiapkan materi presentasi dan sarana presentasi
6.    Menyusun daftar undangan
7.    Menentukan waktu dan tempat penyelenggaraan konferensi pers
8.    Membuat daftar cek (checklist) untuk kegiatan yang mesti dilakukan selama persiapan dan penyelenggaraan konferensi pers.
       5 Prinsip yg harus dipegang saat menjalin hubungan dengan media:
1.    Perhatikan tenggat waktu media (deadline)
2.    Bicara benar atau diam – jangan pernah berdusta
3.    Mengembangkan kedekatan dengan media
4.    Menjadi sumber informasi yang berharga bagi media
5.    Jangan membuka pertengkaran yang tak perlu dengan media
       INGAT KEMBALI MATERI KULIAH MANAJAMEN HUMAS – (Proses & Aspek Manajemen Humas)
1.    Proses dan aspek manajemen Humas dari Cultip, Center dan Broom
2.    Proses dan aspek manajemen Humas enam langkah
3.    Proses dan aspek manajemen Humas IPCE
4.    Proses dan aspek manajemen Humas dari konsep ATLU (Asking, Telling, Listening, and Understanding)
5.    Proses dan Aspek Manajemen Humas PIE (Perencanaan, Implementasi dan Evaluasi)

       Referensi diambil dari Iriantara,2011:45-74
        Proses Media Relations
        A. Perencanaan
       1. Analisis Lingkungan Internal Organisasi
       2. Analisis SWOT
       3. Model Perencanaan ROPE (Riset – Objektif – Program – Evaluasi)
       4. Model Perencanaan Kisi-Kisi Perencanaan
        B. Implementasi
        C. Evaluasi
Soal UAS Media Relations
Semester Genap 2017/2018
       Buatlah Perencanaan Proses Media Relations yang terdiri dari minimal1 bentuk kegiatan Hubungan Pers untuk 2 topik berikut ini:
       Kel 1 & 4. Pelaksanaan 10 Tahun JIKOM
        Kel 1. konferensi pers
        Kel 4. Press Tour
       Kel 2 & 3. Pelaksaaan Summer Course JIKOM 2019
        Kel 2. Special event
        Kel 3. Press Luncheon
       Rabu, 30/05-2018 – kumpulkan rancangan Proposal Tahap I.
       Presentasi proposal lengkapnya dilaksanakan sesuai jadwal UAS yang dikeluarkan Panitia UAS Semester Genap 2017/2018  FISIP UNDANA  – tiap kelompok diberi waktu 20 menit untuk presentasi. Tampilah sebagai presenter proposal.
       Terima Kasih


Being Middle Eastern American:
Identity Negotiation in the Context of the War on Terror
By: Amir Marvasti (Penn State Altoona)
(Menjadi Warga Amerika Keturunan Timur Tengah: 
Negosiasi Identitas dalam Konteks Perang Melawan Teror)
Reviewers: Monika Wutun, Benazir Pratamawati & Aris Juliansyah



Artikel ini berbicara mengenai rusaknya identitas (spoiled identity) warga amerika keturunan timur tengah karena adanya stigma di kalangan masyarakat terhadap mereka setelah tragedi 11 September 2001. Amir Mavasti (Penulis) mengklasifikasikan orang-orang keturunan Timur Tengah dalam menghadapi stigma tersebut dengan menggunakan metode Fenomenologi dan mengacu pada Teori Interaksionalisme Simbolik ke dalam lima kategori : Humorous, Educational, Deviant, Coworing, dan Passing.
Walalupun prasangka dan diskrimninasi yang menentang kelompok etnik ini telah ada berdekade-dekade sebelum 11/9, akan tetapi intensitas dan tuntutan akan permintaan penjelasan adalah sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dalam kehidupan sehari-hari orang-orang bertanya kepada warga Timur Tengah hanya berasal dari rasa ingin tahu tetapi setelah 11/9 mereka malah meminta penjelasan dengan nada menuduh dan adanya tuntutan untuk harus dijawab.
Beberapa studi menonjolkan bagaimana individu-individu yang terstigma mengaplikasikan berbagai pertahanan diri dan strategi-strategi manajemen dalam merespon pelabelan negatif. Mereka (studi) juga mengungkapkan individu tersebut menggunakan berbagai teknis seperti humor, penyingkapan selektif,  untuk menghindari stigmatisasi atau mengurangi akibat dari stigma terhadap identitas mereka yang rusak (spoiled identity).
Menurut Goffman, stigma adalah sebuah variabel dari konstruksi sosial dan bukan karakteristik yang tetap dari individu. Stigma dibatasi oleh peran sosial, harapan dan maknanya didapatkan dari konteks-konteks sosial tertentu. Lebih jauh lagi Link dan Phelan mencatat bahwa stigma memiliki konsep yang beraneka ragam. Dengan demikian, studi mengenai stigma bisa diklasifikasikan berdasarkan aspek mana dari proses stigmatisasi tersebut yang ditekankan.  
Penulisan menyebutkan bahwa fokus utamanya, pada stigma obtrusiveness (yang menonjol) dan disruption (gangguan) yang ditimbulkanya dalam rutinitas sehari-hari. Dari perspektif stigmatisasi, ganguan-ganguan tersebut secara khusus signifikan dalam prinsip-prinsip moral yang mereka miliki dan bagaimana mereka menilai diri mereka sendiri dan orang lain dari waktu ke waktu.
Pada faktanya pendapat-pendapat negatif terhadap warga amerika keturunan timur tengah telah terjadi pada tragedi penahanan sandera oleh militant Palestina yang menahan sebelas atlit Israel pada pelaksanaan olimpiade di Munich tahun 1972. Tragedi yang terjadi setelahnya semakin menguatkan opini-opini negatif yang ada diantaranya adalah: tragedi penyanderaan oleh Iran tahun 1979, Perang Teluk pertama tahun 1991 dan 1993; kemudian pemboman World Trade Center pada tahun 2001. Setiap tragedi diikuti oleh gelombang kejahatan criminal dan diskriminasi, mesjid-mesjid dirusaki dan orang-orang dipecat dari pekerjaannya dan penyerangan di jalanan.
Istilah “tersangka teroris” telah memiliki definisi yang sangat luas yang meliputi ribuan laki-laki keturunan timur tengah yang telah diwawancarai, ditahan atau dideportasi karena pelanggaran imigrasi ringan. Selain itu ungkapan “berwajah timur tengah” hampir selalu diasosiasikan dengan ancaman teroris bahkan memiliki konotasi yang sama dengan kata “black suscpect” (tersangka hitam). Setelah era 11/9 orang-orang berwajah timur tengah terutama lelaki mengalami kejahatan verbal, penyerangan fisik dan terkadang dibunuh terlepas dari kebangsaan mereka yang sebenarnya atau hubungan mereka dengan Islam atau timur tengah.  
Penulis dalam menulis artikel ini melakukan penelitian dengan cara: wawancara mendalam. Dia melakukannya dengan 20 Responden dengan 12 laki-laki dan 8 wanita, dengan rentang usia 18 – 55 tahun. Semua baik yang sedang kuliah atau telah lulus, dan tinggal di tiga negara bagian yang berbeda yaitu Florida, Pennsylvania dan Virginia. Dari 20 responden, 17 diantaranya dilakukan dengan wawancara face to face dan 3 menggunakan telepon yang direkam melalui speaker phone.
Koleksi data mengambil bentuk dari interview aktif dimana partisipan dan peneliti sama-sama berkontribusi dalam pembentukan makna.
Lima kategori manajemen strategi menghadapi stigma terhadap warga amerika keturunan timur tengah:

1)        Humorous Accounting (Penjelasan secara humor)
Saat responden ditanyakan mengenai identitas etnis mereka, terkadang mereka menggunakan humor sebagai sebuah cara pengalihan perhatian dari stereotype-stereotype yang mengancam identitas mereka. Dalam hal ini mereka menggunakan humor sebagai teknik pengalihan. Dalam tipe penjelasan ini, individu-individu menggunakan humor untuk membentuk sebuah pemahaman umum atau “memfasilitasi penormalan pengambilan peran.”  
Penulis menyebutkan sebuah contoh kisah nyata dari seorang Respondenya yang bernama Ladan yang memiliki nama hampir sama dengan Osama Bin Laden. Saat seorang asing bertanya mengenai apakah dia memiliki hubungan keluarga dengan Osama Bin Laden atau tidak, dia menjawabnya dengan cara berhumor, “Ya, dia adalah sepupu saya. Sebenarnya malam ini dia akan datang makan malam di tempat saya.”
Orang yang bertanya tersebut mengalami perubahan sikap yang awalnya ramah berubah dingin dan segera meninggalkan Ladan.
Saat ditanyakan mengapa dia menjawab dengan cara humor seperti itu, Ladan menjawab, “saya melakukannya karena jika saya tidak mengubah pertanyaan tersebut menjadi humor atau sesuatu yang lucu saya akan merasa marah. Saya merasa sangat-sangat disakiti.”
Di dalam humour accounting (penjelasan secara humor), substansi dari penjelasan bersifat kurang penting dan secara sengaja diremehkan. Pemberi penjelasan menyadari adanya permintaan pemberian penjelasan dalam pertemuan dan secara simultan menilai legitimasi dan urgensi dari permintaan penjelasan tersebut. Cara penerima penjelasan menggunakan substansi dari hal tersebut membentuk identitas dalam pertanyaan.

2)        Educational Accounting (Penjelasan Beredukasi)
Terkadang penjelasan secara sengaja dilakukan dalam bentuk sesuatu yang mendidik. Dalam beberapa kasus si pemberi penjelasan mengasumsikan perannya sebagai seorang pendidik, menginformasikan dan mengajarkan si penerima mengenai topik yang relevan. Strategi penormalisasian ini menyerang stigma dengan mengoreksi stereotype-stereotype. Tidak seperti humorous accounting, educational accounting menonjolkan sisi substansi informasi dari penjelasannya.
Selain itu tidak seperti humorous accounting dimana pemberi penjelasan secara sengaja meremehkan steroype-stereotype budaya, educational accounting secara eksplisit dan tekun merujuk pada hal-hal itu untuk menghilangkan prasangka-prasangka. Pemberi penjelasan harus memberikan perhatian yang sungguh-sungguh di dalam memutuskan pertanyaan-pertanyaan apa yang pantas untuk mendapatkan educational account.
Educational accounting adalah strategi yang umum digunakan oleh wanita-wanita warga amerika keturunan timur tengah yang menjadi responden terutama mereka yang menggunakan hijab atau jilbab.


3)        Deviant Accounting (Penjelasan Yang Menantang)
Saat warga amerika keturunan timur tengah didesak untuk memberikan penjelasan terkadang mereka menjawabnya dengan marah atau dongkol. Penulis menyebut hal tersebut sebagai deviant accounting. Sama halnya dengan humorous accounting pemberi penjelasan mendesak penanya dengan menantang hak mereka dan alasan mereka meminta penjelasan tersebut.
Bagaimana pun juga saat humorous accounting menunjukkan keberatan-keberatan tidak langsung dan bersifat mendamaikan terhadap stigma dalam kasus deviant accounting stigmatisasi tersebut secara eksplisit meminta penjelasan jawaban dari yang dianggap normal.
Alih-alih bertujuan untuk mencapai konsensus deviant accounting  mengedepankan beberapa poin yang bertentangan dan mengisyaratkan keberatan pemberi penjelasan terhadap keseluruhan masalah. Interaksi yang terjadi secara eksplisit terfokus pada pertukaran yang adil antara pemberi penjelasan dan penerima penjelasan. Pemberi penjelasan secara khusus terus menggunakan strategi-strategi deviant (yang menantang) saat mereka berhadapan dengan permintaan akan penjelasan yang tidak adil. Secara spesifik etnis minoritas yang selalu dijadikan sasaran dalam penggeneralisasiayn berpeluang menjadi deviant dalam merespon permintaan yang tidak adil.
Deviant accounting adalah pendekatan yang beresiko, baik dapat melindungi pemberi penjelasan dari proses yang berpotensi penghinaan atau menghasilkan permintaan-permintaan tambahan (pertanyaan lainnya).

4)        Cowering (Kepengecutan)
Stigma yang secara khusus ditahan dalam jangka waktu yang lama, dapat menyebabkan seseorang menjadi apa yang disebut oleh Goffman sebagai “defensive cowering” : secara sederhana stigmatisasi sejalan dengan tuntutan-tuntutan  yang bersifat stereotype yang diatur untuk menghindari kerusakan yang lebih besar. Dalam wawancara yang dilakukan penulis dengan beberapa responden, ditemukan bahwa dalam kebanyakan kasus ciri-ciri utama yang ditunjukkan oleh seorang cowering adalah lebih mementingkan keselamatan fisik daripada keselamatan image atau identitas.
Dalam point-point diskriminasi tertentu, stigmatisasi telah menjadi titik balik atau epifani oleh seorang cowering yang mendefinisikan dirinya sebagai seorang deviant dan tidak berkekuatan dalam menjalin hubungan dengan orang-orang normal lainnya.

5)        Passing
Menurut Goffman tujuan dari passing adalah kontrol informasi dan penyembunyian atribut-atribut stigmatisasi dari “kenormalan”. Sebagai salah satu strategi penjelasan passing berarti mengeliminasi kebutuhan akan sebuah penjelasan bagaimana individu-individu menampilkan identitas mereka memiliki potensial untuk mengeliminasi kebutuhan akan penjelasan secara keseluruhan. Sebuah passing yang sukses, membutuhkan self-presentation – dalam hal ini perhatian terhadap pakaian dan kerapian  dengan derajat kepentingan sama.
Beberapa warga amerika keturunan timur tengah berusaha membiarkan aggapan tertentu dengan memperdagangkan identitas etnis mereka sendiri dengan etnis yang kurang kontroversial. Cara paling sederhana untuk melakukan hal tersebut adalah dengan pindah ke daerah yang memiliki beragam etnis. Strategi lain dalam passing adalah dengan memberikan penjelasan ambigu dalam merespon pertanyaan mengenai identitas etnis. Strategi passing memainkan peran yang beresiko dalam stigmatisasi. Secara khusus media telah membentuk passing di kalangan warga amerika keturunan timur tengah sebagai kepanjangan dari “evil terrorist plot”





SOAL UTS MATA KULIAH KOMUNIKASI BISNIS